Senin, 01 Juni 2015

Tentang Menasihati Saudara Kita

Ahad sore, ditengah hutan, ditemani rintik hujan. 

Sedang santai-santainya jalan sembari menggandeng tangan teman yang tengah kesakitan, kami bertemu segerombolan anak cowok sesama pendaki yang sedang jongkok mengerubungi carriernya. Mereka membelakangi jalan setapak yang akan kami lalui. 

Niatnya mau sekedar basa-basi negur atau numpang permisi seperti yang biasa dilakukan oleh umumnya pendaki ketika saling mendahului, eh kami malah dihadapkan dengan 'pemandangan' yang kurang menyenangkan. 

Sorry to say, tapi emang kebanyakan cowok suka kali ya make celana diplorotin ke bawah -_-". 

Dan dengan bodohnya, bukannya diem aja trus langsung permisi dari situ, ini mulut malah berkhianat dengan menggelontorkan kata;
"Mas celananya"
*sambil nyelonong dan nyaris membekap mulut sendiri. 

Krik krik krik

Mereka diam, tidak melanjutkan aktivitas mereka, dan kita berdua pun berusaha pergi menjauh secepat mungkin, meskipun itu sia-sia karena orang di sebelah hanya bisa tertatih, berjalan pelan menapaki setiap anak tangga. 

Tak lama tawa mereka pun pecah

"Celengan." Ujar salah seorang dari mereka

"Dia mah orangnya gitu teh"

Ish Ish Ish... entah apalagi yang mereka ucapkan. 

"Gue salah ya ngebilangin?" tanyaku ke teman di sebelah. Dia cuma cengar-cengir nahan sakit kakinya, sementara gue pingin nyari cangkul dan ngumpet dalam tanah saat itu juga, sampe mereka pergi. 

Yah, silahkan salahin atau benerin kakak gue. Karena kelakuan gue yang begini ini ya karena dia juga. Dulu setiap pergi sama dia, dan ngeliat cewek pakai celananya melorot dan memamerkan 'perhiasannya' (entah di motor, di pantai, atau dimana pun) biasanya dengan sok polosnya akan disamperin dan dikasih tahu secara langsung olehnya. 

Pernah suatu ketika gue dan dia naik motor, kami melihat celana seorang wanita melorot, sementara kaos ketat yang terbungkus jaket mininya naik, sehingga auratnya terbuka, kakak langsung mensejajarkan motornya dan memberitahukan hal itu kepada orangnya langsung. 
"Mbak, celananya melorot." Orang itu dan pasangannya pun tersenyum dan mengucapkan terima kasih. 

"Ya jujur kan lebih baik, dari pada dia malah malu sendiri." begitu menurutnya.

Gue rasa dia benar, dan selagi bisa, gue juga mencoba untuk mengingatkan tentang hal-hal sepele semacam itu jika Allah beri kesempatan. Melihat situasi dan kondisi juga tentunya, nggak mungkin juga kan di depan umum negor orang?. Nggak sopan namanya. Menegur atau mengingatkan orang kan juga ada adab-adabnya, dan salah satunya adalah tidak di depan umum, agar orang itu tidak tersinggung dan merasa terhina atas teguran kita. 

Iya lho, sehalus apapun kita mengingatkan orang, tapi kalau dilakukan di depan umum, itu sama artunya dengan melempari dia dengan sebuah kotoran, tapi kalau dilakukan face to face, pasti lebih mak jleb! 

Meskipun awalnya gue juga sempet protes sama kakak gue, dan awalnya juga gue ragu-ragu buat negor orang yang begitu, pokoknya serba nggak enaklah. Tapi setelah dipikirkan lagi dengan seksama, kalau setiap kali ada orang yang salah di jalan, dan kebetulan kita yang ngeliat tapi kita nggak negor atau ngingetin, kok jadi kayak gimana gitu. Padahal bisa jadi orang itu mengulangi kesalahan yang sama bukan karena sengaja, melainkan karena selama ini nggak ada yang ngingetin atau ngasih tahu dia bahwa yang sedang dilakukannya itu adalah sebuah kesalahan.

Sebagai contoh lagi, sesuatu yang sering gue alami di sekitar gue. Ada ibu-ibu atau mba-mba yang berjilbab tapi pakaiannya alamak jang. Secara naluriah pasti gue pribadi ikutan melotot dan beristighfar, pingin ngingetin orang itu segera. Tapi sayangnya orang-orang begini ketemunya di tempat ramai seperti halte, pasar, dan stasiun. Gue sendiri karena ngerasa nggak bisa ngingetin akhirnya memilih diam dan mencoba mencari pemandangan lain, tapi nggak jarang juga yang malah bisik-biaik membicarakan penampilan ibu tersebut. 

Mengingat seringnya momen untuk mengingatkan saudara seiman di tempat umum sering terlewat, sekarang gue pun selalu membawa alat tulis di dalam tas, jadi nggak ada alesan untuk tidak mengingatkan saudara kita yang mungkin khilaf. Dengan begitu juga, berharap semoga Allah juga akan selalu mengingatkan gue sebagai hamba-NYA yang dhoif yang sering banget khilaf ini dengan berbagai cara. 

"Eh itu jangan-jangan orang yang tadi gue tegur ya mbe?" tanyaku kepada teman yang sakit tadi. 

"Lah iya, emang lo baru sadar?."

"Iya, gue mana tahu kalau itu mereka, ngeliat mukanya juga kagak, pantes dari tadi mereka pada senyam-senyum nggak jelas setiap mereka lewat duluan atau kita gantian melewati mereka."

Kami pun melanjutkan perjalanan. Langit sudah semakin gelap. Tidak ada cahaya rembulan, tidak ada gemerlap gemintang, hanya ada cahaya headlamp yang talinya sudah copot, dan senter yang sinarnya semakin lama semakin meredup, pertanda bahwa batrenya tidak akan bertahan hidup lebih lama lagi. Tidak ada yang tersisa di dalam tas, kecuali bersachet-sachet madu rasa jeruk. 

Masih tentang Mt. Gede via Cibodas kala itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar