Gue segera nelpon om jutek tapi
selalu menjadi yang terbaik buat gue pas denger kabar dia sakit dan harus
dioperasi tapi entah karena alasan apa dia nolak untuk dioperasi. Dia lebih
memilih membiarkan sakitnya memburuk. Dengan gaya orang yang paham dengan dunia
kedokteran (padahal gue hanya pernah bekerja di kamar operasi dan sudah pernah
melihat orang dengan berbagai penyakit di operasi di depan mata), gue berhasil
meyakinkan om gue itu supaya dia mau mengikuti prosedur medis yang dokter
sarankan.
“Gue nggak mau seumur hidup gue
harus buang air besar melalui lubang yang dibuat di perut gue.”
“Ayolah om!, ini nggak akan
separah seperti yang om khawatirkan. Aku pernah ngeliat orang dengan sakit
seperti yang om alami saat ini bahkan mungkin lebih parah. Mereka memang harus
menggunakan kantong diatermi, tapi kalau lukanya sudah sembuh, om bisa BAB pake
anus om lagi. Percaya deh!” ucap gue penuh percaya diri.
“Tapi dokter bilang ini akan jadi
permanen. Om nggak mau!” Gue berpikir sejenak. Oke gue ngerti. Siapa pun
orangnya yang nggak pernah bersentuhan dengan dunia kedokteran pasti bakal
berpikiran yang enggak-enggak kalau mendengar kata ‘operasi’. Bahkan perawat
yang tidak pernah bekerja di kamar operasi (meskipun waktu pendidikan
keperawatan mereka pernah sedikit belajar di kamar operasi), mereka akan
bertanya ini-itu dan suka ngeri membayangkan pasien mereka yang akan atau telah
selesai dioperasi karena berbagai penyakitnya. Jadi gue juga nggak akan
nyalahin om gue yang sudah parno duluan karena diagnosis dokter yang menyatakan
bahwa dia menderita kanker anal. Apalagi anus adalah salah satu organ vital
manusia, maksud gue, hampir setiap hari makhluk hidup normal harus buang air
besar melalui anus, dan sudah beberapa bulan terakhir om gue menderita karena
setiap BAB pasti berdarah.
“Ckk!, nggak gitu om. Sakit
kanker atau tumor, kalau semakin lama didiemin maka dia akan semakin parah.
Emang om mau nanti anusnya membusuk?. Gimana hasil pemeriksaannya?”
“Dokter bilang kankernya sudah
membentuk lingkaran, jadi bakal ditutup permanen.” Ucapnya prustasi, ada nada
ngeri dari setiap kata yang keluar dari mulutnya di sebrang sana.
“Ayolah, om tenang. Ikuti dulu
prosedur yang dokter sarankan. Proses ini-itunya om jalanin aja sampai hasil
labnya keluar, nggak usah panik, nggak usah setress, pokoknya nggak usah
dipikirin, pasti ada jalan kok. Kita tunggu hasil medis nanti. Pokoknya jangan
main supranatural-supranaturalan. Ini penyakit medis, bukan penyakit dukun.” Ancam
gue
“Kalau misalkan dokter bilang
masih bisa dioperasi tapi nggak harus ditutup permanen alhamdulillah, tapi
kalau misalkan dokter bilang harus ditutup permanen kita nego supaya dikemo
atau disinar aja. Sementara ini Kita lakukan pencegahan supaya penyakitnya
nggak memburuk.”
“Om mendingan dikemo aja dari
pada dioperasi.” ucapnya pelan.
“iya, kita tunggu gimana hasilnya
nanti ya.”
“Kalau bisa gue cegah pake
makanan mending gue cegah. Apa yang harus gue hindari dan apa yang harus gue
konsumsi.”
“Biji anggur kaya akan anti
oksidan, dia paling bagus sebagai anti kanker, sirsak juga, terus mengkudu
juga, masih banyak lagi buah yang kaya anti oksidan. Nanti aku beliin aja
herbalnya.”
Diskusi pun berlanjut dengan apakah biji anggur harus dikunyah atau
ditelan?, kemudian kemungkinan lebih manjur mana makan mengkudu langsung atau
meminum kapsulnya? dan permintaannya untuk mencarikan informasi tentang makanan
yang baik untuk mengobati penyakitnya di internet yang dari awal memang sudah
sangat ingin gue lakukan.
“Ok om, nanti aku kabarin lagi,
tapi inget, jangan setress, ok?, Assalamu’alaikum.”
“Iya, Wa’alaikumussalam.”
Yah seenggaknya itu sepintas
percakapan gue dengan my beloved uncle.
Gue ngerti, sengeyel-ngeyelnya om gue itu, dia akan nurut sama gue kalau soal
yang beginian, berbekal pengalaman gue di rumah sakit dua tahun lalu tentunya.
Kurang lebih dua tahun gue bekerja
sebagai Administrasi Apotik di dalam kamar operasi. Jobdesk gue sebenarnya mengurusi administrasi pasien swasta, askes,
jamsostek, SKTM, dan lain-lain. Tapi itu cuma tugas pokok gue, karena selain
itu gue juga turut membantu menyediakan obat-obatan yang diperlukan oleh dokter
anasthesi untuk membius pasiennya, mulai dari fentanyl, morphin, atrophin
sulfas, epedhrin, epinephrine, lidocain, propofol, kliran, dan obat-obatan
ampul lainnya. Juga perlengkapan dokter dan perawat bedah mulai dari handscoen steril, set betadin, alkohol, urine bag, kassa steril, jarum &
benang jahit, folley catheter, dan
lainnya adalah sahabat gue sehari-hari. Dan sumpah gue mencintai tugas
sampingan gue ini. Gue mencintai dunia kesehatan karena dulu cita-cita kecil
gue adalah menjadi Dokter, itu sebabnya gue sangat bersyukur bisa atau sempat
bekerja di Rumah Sakit meskipun bukan sebagai dokter.
Gue pernah ngeliat kaki orang lagi
dibor pake alat yang gede-gede, bunyinya kayak orang lagi ngebor besi atau
kayu, kemudian dipasangi sekrup dan besi. Gue pernah ngeliat orang lagi di seksio
(Sesar), juga pasien di curret dan dikeluarkan janin yang tidak berkembang dari
dalam rahimnya secara langsung, ngeliat anak disunat juga udah biasa.
Keadaan seringkali membuat gue
dan tim harus bolak-balik nganterin obat ke kamar operasi karena pasien kritis,
sementara perawat dan dokter sibuk dengan pasiennya yang sedang berjuang antara
hidup dan mati di meja kamar operasi. Seringkali juga kami membantu perawat
menuangkan formalin ke dalam kantong plastik yang berisi organ tubuh manusia
yang karena sakitnya seperti kanker ganas, kecelakaan, dan lain-lain sehingga
harus diangkat (dioperasi), seperti payudara yang besarnya lebih besar dari
bola sepak. Biasanya jaringan ini sudah tidak berbentuk lagi sehingga hanya
terlihat merah darah dan lendir saja.
Atau terkadang gue menjumpai perawat
yang bertugas di OK I (Oka satu-red) yang khusus menangani pasien bedah saraf, sedang
mencuci batok kepala pasiennya yang pecah dan harus disimpan untuk kemudian
dipasang lagi jika keadaan pasien membaik, atau dilenyapkan jika pasien
akhirnya menghadap ilahi. Dan masih banyak hal yang gue dapatkan selama bekerja
di sana. Pengalaman-pengalaman menakjubkan yang masih bisa gue kenang.
Gue dan TIM kalau sedang
beruntung minimal sehari sekali harus menyediakan obat anasthesi dan juga
perlengkapan bedah khusus untuk pasien OK VIII. OK ini biasanya merupakan OK
khusus yang digunakan untuk operasi penyakit berat seperti jantung, ginjal, dll.
Bisa hampir seharian buat nyiapin persiapan operasi pasien OK VIII ini, waktu
itu malah pernah marathon, sehari lebih dari satu pasien. Dan selama dua tahun
bekerja di sana hanya sekali gue menyiapkan set operasi untuk pasien yang
operasi transplantasi ginjal.
Kita paling ngeri setiap harus
melayani pasien pengidap HIV, jangan ditanya seberapa rempongnya persiapan
untuk pembedahan pasien pengidap HIV ini, rempong binggo man!. Kita harus
menyiapkan perlengkapan khusus untuk digunakan sebagai alas pasien di meja
operasi, baju dokter dan perawat, pokoknya perlengkapan operasi untuk pasien
HIV harus extra savety than other
operation, maklum, namanya juga HIV, nggak tahu kan apesnya orang itu
kapan?, kalau tiba-tiba ketularan gimana?, hiiii… Na’udzubillah dah.
Oke udah ngalor-ngidulnya. Back to cancer. Gue kenal kanker ini
sejak gue mengikuti PMR Wira di sekolah. Seenggaknya gue dapet sedikit bekel
tentang kesehatan, sehingga ketika April 2012 gue menyadari ada benjolan di
salah satu organ tubuh gue, gue segera kosultasi ke bos gue di farmasi dan
meminta ijin untuk periksa ke dokter. Benar saja, setelah di USG gue positif
terkena ca mamae sinistra, bahasa
manusianya tumor jinak di dada sebelah kiri.
Dari yang gue pahami, ada
beberapa jenis kanker ini, ada yang berbentuk padat dan cair. Allah ngasih gue
jatah yang padat. Katanya yang padat ini masih mending, bisa dioperasi
benjolannya itu, sementara yang cair, kalau benjolan dalam jumlah banyak dan
memenuhi seluruh bagian organ tubuhnya, maka akan sulit menyembuhkannya. Dokter
pun memberikan surat untuk tes ini dan itu sebelum operasi berlangsung. Mulai
dari tes darah sampai photo thorax.
Mama Ye (bos gue di faramasi)
adalah salah satu orang yang syok dan selalu berusaha menyemangati, menghibur
dan menguatkan gue untuk mau dioperasi dan melarang gue untuk ke dukun (padahal
gue sama sekali nggak ada kepikiran buat ke dukun). Mama Ye ini the best bos
ever lah. Dia juga pernah diangkat rahimnya karena sakit mium. Teman-teman di
apotik kamar operasi juga mendukung keputusan gue untuk dioperasi. Padahal
tanpa mereka paksa pun gue akan dengan senang hati dioperasi ketimbang kelak,
suatu saat harus mengangkat organ tubuh gue yang semakin parah karena kemalasan
atau ketakutan gue untuk operasi. Gue tetap stay
cool karena gue sudah sering melihat pasien dengan diagnosis yang sama atau
bahkan lebih parah dari gue, dan gue tahu, operasi itu tidak semengerikan
seperti apa yang orang awam pikirkan, operasi itu salah satu ikhtiar, salah
satu solusi untuk menghadapi suatu penyakit aneh jaman sekarang. Jadi gue sama
sekali nggak takut.
Gue inget, hari jum’at seharusnya
gue dirawat inap pra operasi, tapi gue malah mengikuti Mubes IKBM di puncak,
sehingga gue merepotkan ipane-pane (temen di OK) untuk mengurus segala
persiapan operasi. Dan sepulang gue dari Mubes gue harus menghadapi keganasan
perawat ruangan di mana seharusnya gue bermalam, karena gue sudah melalaikan
kewajiban seorang pasien untuk dirawat. Gue pun harus merepotkan mba Ciko
(perawat bedah) untuk membantu mendapatkan surat ijin dari Dokter jaga di IGD
(Instalasi Gawat Darurat) supaya gue diijinin masuk ruang perawatan. Gue sadar
kalau kerjaan gue emang ngerepotin orang. Duh Risti….
Ketika beberapa hari kemudian gue
sudah terbaring di dalam OK yang biasa gue lewatin bolak-balik, Mama Ye dan
teman di dalam farmasi OK datang dan kembali menyemangati gue. Mereka masih
berfikir bahwa gue takut dan tegang.
“Udah siap ya?” Tanya seorang
perawat yang sudah sangat gue kenal. Gue Cuma mengangguk, membiarkannya mencari
pembuluh darah, menancapkan jarum dan membuat saluran agar cairan Ringer Lactat masuk ke dalam tubuh. Perawat
dan dokter yang menangani gue terheran-heran
melihat monitor yang menunjukkan detak jantung gue berdetak ‘terlalu’ normal,
tidak seperti kebanyakan pasien yang akan dioperasi.
“Eh, kamu mau dioperasi kok tenang-tenang
aja sih?” aku tergelak mendengar pertanyaan perawat yang lain sesaat setelah ia
menempelan tiga lembar NDM di sekitar dada.
‘Ya ampun, ini Cuma operasi
kecil, jangan lebai deh dok.’ Gumam gue dalam hati.
Beberapa hari sebelum operasi
nggak adasatu pun keluarga gue yang tahu bahwa gue akan dioperasi. Tapi karena
gue butuh tandatangan wali, akhirnya gue menghubungi abang gue dan memintanya
menandatangani surat persetujuan operasi, dia juga yang menemani gue selama
beberapa hari sebelum dan sesudah operasi karena gue butuh seseorang untuk
mengurus administrasi dan menebus obat di apotik. Dan karena gue juga butuh
do’a bonyok, akhirnya dengan terpaksa gue menghubungi dan mengabarkan kepada
mereka bahwa besok gue akan dioperasi. Gue melarang keras mereka yang waktu itu
maksa untuk nyusulin gue ke Jakarta. Gue meyakinkan mereka bahwa ini hanya
operasi kecil dan gue akan baik-baik saja.
Sebelum obat bius dokter bekerja,
banyak perawat anasthesi dan bedah yang nggak nyangka bahwa gue adalah pasien
mereka hari itu, karena jadwal pasien memang dipasang ketika sudah sore, dan
qadarullah nama dan status gue yang dipasang di jadwal operasi ada yang salah.
Mereka berdatangan dan turut memberikan semangat di OK IX. Gue emang udah request supaya dokter dan perawat bedah
yang menangani gue adalah cewek, tapi sialnya gue lupa me-request supaya perawat anasthesinya juga cewek. Dan gue pasrah,
karena sebelum gue meminta supaya perawat ini diganti gue sudah tidak sadarkan
diri. Gue sadar beberapa saat di recovery
room untuk kemudian tidak sadarkan diri lagi akibat pengaruh bius totalnya
belum benar-benar hilang.
‘Oh begini rasanya nge-fly’. Gue memang dibius total
menggunakan salah satu jenis narkotika. Entah berapa lama gue tidur, dan ketika
gue bangun gue udah di ruangan bercat putih bertirai hijau. Gue sudah kembali
di ruang rawat inap. Di sana sudah ada dua om tengil dan abang gue.
“Gue pikir lo mati Ris, nggak
bangun-bangun” Gue nggak sempet menanggapi gurauannya, yang faktanya juga
tersirat nada kekhawatiran di sana. Entah kapan mereka pamit, karena setahu
gue, gue sudah kembali tertidur karena mata gue masih berat dimelekin.
Coass cewek yang visit
menanyakan keadaan gue yang jelas terlihat sangat baik kalau saja efek obat
bius itu sudah benar-benar hilang. Dan seperti yang lain dia juga berusaha
menguatkan gue dan mengatakan bahwa gue baik-baik saja. Gue hanya tersenyum
ramah, mendengarkannya yang bercerita bahwa dia juga pernah dioperasi karena
penyakit yang sama.
“Saya juga pernah dioperasi,
sempet tumbuh lagi, tapi kemudian ilang. Kemungkinannya untuk tumbuh lagi
sangat mungkin terjadi, jadi lebih baik hindari saja fast food seperti burger, mie, telur, ayam, dan lain-lain.”
Sarannya. Gue nggak kaget tentang kemungkinan penyakit itu tumbuh lagi,
mengingat teman di OK juga ada yang pernah mengalami itu.
“Terimakasih dok.” Ucap gue
sambil tersenyum. Setelah tiga hari gue pun meminta untuk pulang.
Kesalahan gue waktu itu adalah
karena gue nggak ngambil hasil Pathology
Anathomi dari daging tumor yang waktu itu diangkat, jadi gue nggak tahu
apakah itu tumor jinak atau ganas. Makanya sampai sekarang gue belum jadi-jadi
meriksain benjolan yang kembali tumbuh di sekitar bagian organ tubuh yang dulu
dioperasi karena pasti bakal ditanyain hasil PA operasi yang lalu, kemudian
dokter akan nyalahin gue, nyeramahin ini dan itu seperti beberapa waktu yang
lalu saat gue melakukan USG di salah satu klinik swasta nomor satu di Jakarta. Gue
bukannya dilayani malah diomeli. Ish….
Tapi tenang, gue udah punya
rencana buat berobat pake BPJS ba’da idul fitri. Meskipun gue udah nggak kerja
di rumah sakit, tapi gue masih cinta kok dengan dunia kesehatan, biarpun gue
nggak pandai menjaga kesehatan. Siapa tahu aja gue bakal ketemu lagi sama
dokter ganteng idaman karena penyakit yang dititipin ke gue ini, wkwkwk.
Eh, bukan itu intinya gue nulis
ngalor-ngidul. Gue Cuma pingin temen-temen dan semua orang di sekitar gue itu
sadar, bahwa sakit itu harus dihadapi, bukan dihindari. Jangan takut
memeriksakan kesehatannya kalau memang dirasa ada sesuatu yang aneh pada diri
kita. Semacam benjolan yang tidak pada tempatnya, sering kram perut, dan
sebagainya. Terutama cewek, biasanya sakit semacam kanker serviks, payudara,
dan lainnya ada gejalanya, tapi kebanyakan takut buat memeriksakannya. Padahal
sakit kayak begini kalau didiemin bukannya sembuh lho, tapi malah semakin
membuat virus di dalam tubuh kita itu menjadi sel kaker ganas. Eh tapi jangan
dikira cowok enggak beresiko juga ya, cowok juga memiliki resiko terkena kanker
payudara lho!, nggak percaya? Coba baca buku-buku kesehatan.
Oya, Kenapa gue bilang sakit itu
adalah titipan?, karena sakit itu haknya DIA mau ngasih ke siapa. Ada orang
yang udah ngejaga makanannya, diet ini-itu, rajin olah raga, tapi ternyata
masih kena stroke, kanker, leukemia, dll.
Nyokap gue contohnya. Diusianya
yang sudah berkepala lima, nggak ada angin nggak ada hujan, eh, maksud gue
nggak ada gejala apa-apa, tapi ternyata sudah divonis dokter terkena kanker
serviks waktu berobat ke RSUD karena beberapa hari sebelumnya mengalami kram
perut dan pendarahan saat menstruasi. Padahal gue tahulah kalau nyokap gue ya
ngejaga makanan, selalu bangun sebelum subuh, jalan kaki ke mushola, terus
kerja seharian di pasar. Boro-boro makan yang macem-macem, di kampung mana ada
itu burger, nugget?. Bakso, telur, ayam potong, juga pasti jarang masak dan
lebih sering masak ikan. Tapi toh buktinya nyokap gue kena serviks bahkan harus
dirujuk ke rumah sakit provinsi karena dokter RSUD sudah angkat tangan. Sudah
stadium berapa entah. Gue minta nyokap dioperasi pun nggak bisa karena sudah
parah. Hanya bisa di kemoteraphy katanya. Ya begitulah akhirnya. Nyokap baru
selesai menjalani kemo nya beberapa bulan yang lalu, dan masih menjalani
berobat jalan sampai sekarang. Jadi sebulan sekali harus ke Semarang menemui
dokter Edi yang baik hati.
Kita nggak perlu maki-maki dan
merutuki nasib diri. Kalau kalian berpikir bahwa DIA nggak adil udah nitipin
sakit ini dan itu ke kalian (baca aja kita), mungkin kita perlu mengingat
kembali, bahwa sakit itu dapat menjadi penggugur dosa-dosa kita. Kita hanya
perlu berharap dan berdo’a, agar disetiap sakit yang kita rasakan, maka akan
gugur pula setiap dosa-demi dosa yang telah kita lakukan.
Terkadang gue merasa ke GR-an
sama DIA. Gue berpikir bahwa Tuhan memang sengaja menitipkan penyakit itu
khusus, spesial hanya buat gue dan orang-orang di sekitar gue. Nggak tahu pasti
kenapa, tapi mungkin DIA pingin melihat bagaimana reaksi gue dan mereka nggak
hanya saat kita diberi berbagai kenikmatan, tetapi juga saat kita diberi
sesuatu yang mungkin awalnya menurut kita adalah hal yang menyakitkan.
Gue yakin, gue Cuma perlu
bersyukur dan terus melakukan yang terbaik. Begitu pun dengan kalian.
Be Smart, care your self and whoever around you!