Senin, 14 Desember 2015

Masihkah Kita Merasa?

Suatu ketika gue membaca broadcast-an tentang HTI yang menjelekkan Erdogan, lalu kemudian fans Erdogan pun bereaksi dan memberikan tanggapan, entah berupa komentar sederhana, sampai tulisan tandingan lainnya.

Gue pun bertanya-tanya, kenapa HTI begitu?, toh dunia juga melihat, bahwa Erdogan banyak melakukan hal-hal positif. Tak lama, berita itu berlalu.

Kemudian di lain waktu gue membaca tentang kenyinyiran golongan tertentu terhadap apapun yang dilakukan oleh FPI, hanya karena FPI sering frontal terhadap kemaksiatan, berani turun lapangan dan melakukan razia di berbagai macam tempat maksiat, nahi munkar melalui tangan-tangan mereka.

Oh please, gue jelas nggak akan pernah mendukung bagian anarkis mereka, tapi harus gue akui bahwa FPI jelas jauh lebih baik dari gue, dan gue nggak punya alasan buat nyinyirin mereka. Toh selama ini, dari berita yang gue dapet, FPI juga sering turun ke lapangan ketika terjadi bencana di berbagai tempat (meskipun aksi mereka minim pemberitaan). Yang pasti, jelas mereka lebih baik kemana-mana dibanding orang yang suka nyinyirin mereka.

Terakhir gue baca lagi artikel di medsos soal "Pepesan Kosong Pilkada."

Yang beginian juga pasti heboh, dan memunculkan berbagai macam reaksi publik. Artikel tandingan pun banyak berkeliaran. Orang-orang berlomba men-share, broadcast, copa terkait isu ini ke medsos yang mereka miliki. Masing-masing kubu merasa dirinya paling benar dan berjusng keras bmempertahankan argumentasi mereka. Antara yang pro dengan yang kontra dengan demokrasi.

Sampai di sini, gue merasa sedih.

Kenapa?

Karena mereka yang bertikai ini, kebanyakan adalah saudara-saudara seiman gue juga.

Agama di KTP nya gue yakin masih Islam. Shalat wajibnya masih sama, lima waktu. Arah kiblatnya juga masih sama, Ka'bah. Syahadatnya nggak beda, sama persis, antara satu golongan dengan golongan yang lain. Rukun Iman dan Islamnya juga sama lho ya. Pokoknya aqidahnya masih sama.

Tapi, mereka yang katanya sama-sama mau memperjuangkan agama Allah (Islam), malah saling serang dan menganggap golongan sendiri paling benar.
*Perjuangan macam apa itu? 😢

Buat apa sih debat?. Memang ada untungnya saling debat kusir?, bukannya hal ini justru menimbulkan perpecahan?

Disaat musuh saling bersatu padu, eh umat muslim saling bertikai. *nggak boleh capek.

Begitulah...

Kalau bukan karena gue pernah baca, bahwa kelak Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, mungkin juga gue akan bertanya-tanya, kenapa mereka nggak bersatu aja sih?, tapi ya inilah bagian dari sunnatullah yang harus umat muslim hadapi.

Gue termenung, ketika membaca komentar seseorang di dalam sebuah grup WA, saat ada beberapa orang saling sahut-menyahut, menanggapi tentang artikel Pepesan Kosong Pilkada.

"Tidak ada kejayaan dan kebesaran pada umat yg bertikai. Wa' tashimuu bihabblillahi jami'a wala tafarroquu..."

Nggak akan pernah berjaya, nggak akan pernah besar kalau masih bertikai. Jangan pernah muluk-muluk ngarepin Islam berjaya seperti di jaman Muhammad Al Fatih, apalagi ngarep Islam bakalan seperti di masa kepemimpinan Muhammad bin Abdullah.

Nggak boleh ngarep kalau masih pada saling menghujat, menganggap diri paling benar, dan masih saling menebar kebencian.

Karena dulu, Rasulullah mensyiarkan Islam dengan cara yang ahsan.

Wallahua'lam bishawab.

Gue jadi inget, ketika dulu pertama Hijrah banyak yang nanya, "kamu ini aliran apa?", atau tiba-tiba ada supir taksi yang bertanya, "Mba PKS ya?.", ada juga yang ragu-ragu bertanya begini, "Risti maaf mau nanya, kamu HTI bukan?", dan masih banyak lagi pertanyaan yang sejenis yang mampir di kuping gue.

Kalau sudah begitu, gue cuma tersenyum sambil bilang,

"Saya Islam."

Semoga masing-masing dari kita mau belajar memperbaiki diri, dan belajar untuk menjadi agen muslim yang baik.

Ristiati Izzumi Hirata

Senin, 07 Desember 2015

My Sunday Short Story

Yang di depan podium itu, katanya Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kalau nggak lupa sih namanya Ibu Yohana. Berdasarkan telusuran google nama lengkapnya Yohana Yambise (kalau gue nggak salah ketik).

Seperti biasa, pagi ini gue ketiban apalah namanya. Seharusnya gue dateng pagi ke kantor, ngerjain surat-surat yang diperlukan oleh direktur yang akan dibawa pagi ini juga, kemudian sedikit bersantai saat ibu direktur sudah pergi dengan membawa berkas yang diperlukannya. Beres. Gue bisa luluran, meni, pedi, creambath, ... #Plakkk!, canda ding, maksudnya gue bisa santailah.

Jadi pagi itu dengan PD nya gue memilih kaos marun panjang (oleh-oleh dari Thailand), rok hitam jaman kuliah (bayangin warnanya kayak apa sekarang), dan bergo hitam (hasil jarahan), serta sandal jepit buat ke kantor.

Saking kasualnya, sampai temen kos nanya begini:

"Ti, mau main apa kerja?"

"Main dong kak." jawab gue sok cool.

Tapi seperti biasa, ternyata bos ngasih amanah dadakan supaya gue ikut ke TKP di Sari Pan Pacific Hotel buat ngurusin berkas-berkas yang harus ditandatangani. Kalau udah begini gue cuma bisa ngelus dada. Meskipun gue belum tahu dalam rangka apa ini budir ke sana, tapi gue yakin, kami akan menghadiri acara resmi yang dihadiri oleh orang-orang penting dengan pakaian formal mereka. Akhirnya gue cuma pasrah, mengganti sandal jepit dengan flat shoes yang emang sengaja gue tinggal di kantor, kemudian bergegas menghampiri mobil budir di sebrang jalan raya.

Gue udah sempet mengeluh dalam hati karena harus ikut. Secara, semalam itu habis kena banjir lokal di kamar kosan, gara-gara saluran air samping kamar mampet, jadi air talang masuk semua ke kamar melalui celah-celah daun jendela yang menjuntai sampai ke bawah. Gue baru kelar nguras genangan air dan ngepel kamar sampai sekitar jam 12 malam, kemudian bangun tidur dalam keadaan pinggang pegel dan badan sakit nggak karuan. Tapi ketika mobil kami sampai di lampu merah kawasan salemba, gue ngerasa jadi hamba Allah paling kufur sedunia. Bayangin! di sana gue melihat seorang tukang koran di lampu merah yang tengah tersenyum tulus ketika beberapa pengemudi mobil ada yang membeli korannya. Dia menerima lembaran uang lima ribuan, memberikan kembalian, bahkan harus berlari-lari dan waspada dengan lampu lalu lintas yang siap berubah warna seketika itu masih dengan senyuman. Padahal gue juga tahu, keuntungan mereka dari menjual koran itu nggak banyak. Tapi mereka bisa tersenyum setulus itu. Sementara gue yang tinggal duduk, numpang di mobil ber-AC, nggak kecapekan, malah ngedumel nggak jelas. Mendadak gue malu sendiri demi melihatnya.

Alhamdulillah 'alla kullihal, warna langit jadi terlihat semakin biru cerah setelah itu.

Nggak lama, mobil kami sampai di loby hotel, dan kami segera masuk.

Gue pingin ketawa sebenernya ketika melewati security dan mereka memeriksa tas kami dengan alat mereka. Tas ransel foldable gue jelas barang langka menurut mereka. Ya iyalah, yang masuk sini biasanya kan orang berkantong tebel, yang nggak mungkin menggunakan Tas murahan macam ini. Hahah. *abaikan. Kami langsung naik lift ke lantai empat.

Pertama kali sampai di tempat tujuan, kami langsung menuju meja registrasi. Gue pun komat-kamit ngasih kode ke budir.

"Udah tulis aja PKS." Ucapnya santai. Oh... iya, gue cuma mengangguk takdzim, kemudian langsung masuk ke aula, setelah sebelumnya mendapatkan souvenir dan beberapa buku tenang Caleg Perempuan.

Byar...

Tuh kan bener. Yah, pulang aja dah pulang.

Pas di dalem, isinya orang-orang elit sosialita. Yah, maksud gue, seenggaknya, nggak ada satu pun dari mereka yang datang keacara semacam ini dengan kaos dan bergo.

"Forum Komunikasi Politisi Perempuan Calon Kepala Daerah/Calon Wakil Kepala Daerah" gue baca tukisan di spanduk yang terpasang di depan. Oh... Jadi kebanyakan undangan adalah Caka/Wacakada, politisi.

Gue cuma bisa berdo'a, semoga nggak ada orang yang akan iseng nanya macem-macem ke gue. Dan alhamdulillah, yang duduk di sebelah gue adalah ibu-ibu tua pejabat eselon I dari kementerian itu. Kami ngobrol beberapa hal, dan dia cukup puas dengan jawaban bahwa gue dari Rawamangun, nggak nuntut penjelasan dari Instansi/Organisasi apapun gitu. Hahah. Gue baru bisa benar-benar relax ketika Ibu Menteri sudah datang, dan acara dimulai.

Sementara Bu Yohana memberikan sambutan, gue menatap kosong piring putih kecil bekas snack coffee break. Nyesel aja, kenapa tadi ke sana nggak bawa kotak makan ya?, croissantnya itu lho, nagih!, enak banget, dan masih sisa banyaaakkk di loyangnya. Hahaha.

Setelah urusan di sana selesai, akhirnya gue bernapas lega. Langsunglah gue memesan Gojek, karena budir langsung bertandang ke Bandung.

Emang dasar sih ya. Gue lupa kalau daerah Thamrin nggak boleh buat lewat motor, jadilah gue janjian sama si abang gojeknya di jalanan lain, kasian mau cancle orderan. Setelah ketemu kami pun langsung menuju ke kantor.

Sampai di kantor, ternyata sedang mati lampu, akhirnya gue milih tilawahan di ruangan, sembari menanti adzan dzuhur.

Awalnya gue merasa ada sesuatu yang ngeganjel gitu. Tapi apa ya?

Oh iya gue baru inget. Tadi pagi, karena dari semalam hp mati, salah satu teman kosan sekaligus teman kantor yang mengabarkan bahwa gue harus nyampe kantor sebelum jam 7. Gue hanya sekilas melihat matahari udah terang, jadi gue buru-buru ke kamar mandi, gosok gigi, dan cuci muka.

"Risti cepetan mandi dulu, supaya nggak telat." Tegur Kak Mel.

"Nanti mandi di kantor aja Kak." gue pikir, yang penting surat-suratnya kelar dulu, diambil sama budir, dia pergi, gue mandi. Eh, rencana gagal.

Gue kembali mengingat-ngingat aktivitas gue dari pagi hingga sore, dan ternyata, gue emang belum mandi.

Ya Allah... Pantesan kok ya gue ngerasa ada yang aneh gitu.

Tapi nggak papa. Itu artinya gue udah turut mendukung program sehari hemat air. Entah itu programnya siapa, kalau emang nggak ada, ya udah, ada-adain aja.
#maksa

Apapun itu, gue cuma pingin bilang, bahwa kebahagiaan itu selalu bisa didapatkan dari banyak hal, bahkan hal-hal yang sederhana sekalipun. Seperti dengan melihat senyum tulus orang lain, seharian nggak mandi, diajak ngebut sama tukang ojek, bahkan mendengar kabar teman dan sahabat mau menikah pun akan menjadi sesuatu hal yang luar biasa ketika kita mampu bersyukur. #ehh
*Abaikan yang paling akhir.

Yah, begitulah my sunday short story. Kalau ada yang baik diambil, kalau banyak yang kurang baik ya diingetin.

Karena menulis adalah mengikat cerita, bukan mengejar cinta.
#plakk

Senin, 19 Oktober 2015

Episode Senja

Daun yang jatuh tak kan pernah kembali ke tempat darimana ia berasal
Dia akan pergi kemana pun angin membawanya

Dan aku rasa, aku mulai iri dengan ketaatan daun yang gugur itu.
Dia tak pernah marah
Tak pernah membenci dan mencaci
Hanya menuruti, apa suratan Ilahi

Aku pun ingin rasaku seperti daun gugur itu
Pergi dari suatu tempat, dan tak pernah kembali
Melupakan apa yang seharusnya dilupakan

Episode ini harusnya tlah berakhir semenjak hari kepergianmu dan kehilanganku

Semenjak DIA menjawab munajat dan tanyaku
Semenjak DIA menggiringku hingga sampai di titik ini
Di sebuah tempat dimana tak
seharusnya aku berada

Maka harusnya aku mulai belejar melepaskan
Bukan justru merajut rindu
Maka harusnya aku mulai belajar melupakan
Bukan terus mengukir kenangan

Tapi hatiku masih tertutup untuk menerima semua kenyataan ini
Dan aku pun tersadar, bahwa episode ini masih akan terus berlanjut, hingga aku sendiri mampu mengakhiri

Ya...
Aku masih mencarimu
Aku masih menantimu
Aku masih sangat ingin melihat senyum sempurna itu
Dan satu hal yang paling menyakitkan adalah, aku masih mengharapkanmu
Tak peduli betapapun perasaan ini menyakiti diriku sendiri

Duhai senja

Adakah dia tengah memandangmu seperti aku memandangmu?
Adakah kau melihatnya tersenyum tulus seperti ia dulu?
Adakah dia masih peduli dengan sekitarnya?
Adakah dia...?

Duhai senja,
Mengapa menyapamu selalu membuatku sendu?
Mengapa memandangmu selalu tercipta lara?

Duhai Senja,
Betapa benci dan rindu untukmu telah menyatu

Hingga aku tak lagi tahu
Apakah aku tengah terluka atau bahagia saat menantimu

Duhai senja...
Biarkan aku menikmati rona jinggamu
Hingga ia berlalu
Hingga gelap menyapa
Hingga kehangatan itu tak lagi terasa
Hingga seruan menghadap Tuhan mulai dikumandangkan

Aku akan pergi,
dan jika Tuhan menghendaki, aku akan menemuimu esok hari.

Kembali menantimu hingga ujung waktuku

Minggu, 09 Agustus 2015

Surga Yang Tak di Rindukan

Ibu: Bapakmu itu orang yang baik, dia pasti punya alasan kenapa dia menikahi wanita lain

Arini: Tapi apa Ibu nggak sakit ketika tahu Bapak menikah lagi? (Emosi)

Ibu: Awalnya Ibu sakit, marah, kecewa, dan menangis seperti kamu. Tapi Ibu memilih untuk bersabar. (Jawabnya tenang)

Arini: Arini bukan Ibu!, Arini tidak bisa seperti Ibu. (Menangis)

Ibu : Ada hal yang membuat Ibu akhirnya memilih bersabar dan menerima semuanya.

Arini: (menoleh ke Ibunya dengan berlinang air mata) Apa?

Ibu: Kamu (sembari tersenyum tulus penuh kasih sayang)

Arini semakin terisak mendengar jawaban Ibunya.

Ibu: Arini, kamu punya keputusan sendiri. Tapi apa pun keutusan kamu nanti, ibu harap kamu tabayun dulu ke Pras.

###

Dialognya mungkin nggak sama percis, tapi ini salah satu bagian yang gue suka dari Film 'Surga Yang Tak di Rindukan'. Pembawaan Ibunya itu lho. Ngademin.

Dari awal, gue nggak mau memberikan komentar apa pun, di saat banyak komentar negatif terkait film ini. Nggak kece banget, kalau hanya karena cover judul film yang menggambarkan Arini (Bella) dan Pras (Fedi Nuril) yang seolah berpelukan, trus ngejudge film ini begini atau begitu. Secara jaman udah semakin canggih, ngedit-edit gitu mah udah hal mudah. Bukan berarti gue setuju dengan editan gambar semacam itu. Seharusnya,  memang kalau bisa hal-hal semacam itu dihindari, meskipun tujuannya baik, tapi orang-orang yang tidak tahu kan juga tidak salah kalau akhirnya mereka menilai macam-macam saat melihat gambar itu pertama kali. Bagaimanapun juga, izzah seorang muslimah harus tetap dijaga. Apalagi Muslim/Muslimah itu kerap menjadi pusat perhatian. Ada orang-orang yang memperhatikannya karena benar-benar sayang atau hanya ingin mencari kesalahan, kemudian menjatuhkan. Salah sedikit saja dicela, seolah muslim itu malaikat yang tidak boleh melakukan kesalahan sedikit pun. *Gue ngomongin fakta*

Selain nggak kece, gue juga ngerasa nggak adil dan mendzolimi semua kru yang terlibat dalam produksi film ini. Lebih-lebih penulis bukunya (terlepas dari mba Asma ini Sunni atau Syi'ah lho ya...).

Ya kali liat buku dari covernya. Cover bagus belum tentu isinya juga bagus, begitu pun sebaliknya. Kalau mau tahu kualitas isi buku ya dibaca dulu, mau lihat film itu bagus atau enggak, juga harus nonton dulu. Belum apa-apa kok sudah heboh. Seneng banget ngomentarin hal yang belum jelas wujudnya.

Karena gue sendiri belum baca bukunya, jadi yang gue lakukan adalah menunggu sampe filmnya rilis, syukur-syukur bisa cepet ditayangin di TV (nggak mau modal banget emang).

Poligami.

Siapa sih yang nggak kenal istilah itu?. Seorang sahabat pernah bercerita tentang kenalannya. Gara-gara poligami ini ada seorang muslimah yang akhirnya murtad. Alasannya adalah, karena ayahnya menikah lagi, dia merasa tidak terima dan lebih memilih keluar dari Islam. Na'udzubillah. Gue yakin poligami hanya satu dari sekian banyak alasan yang digunakan musuh Islam untuk menyerang dan menjatuhkan Islam. Entah apa sebabnya dan bagaimana awalnya, tapi poligami memang cenderung diidentikkan dengan lelaki muslim yang mempunya istri lebih dari satu. Padahal ada juga umat agama lain yang mempunyai istri banyak, dan tidak ada yang mempermasalahkan. Tidak ada media yang meliput.

Poligami.

Pelakunya kalau Muslim biasanya bakal dibully habis-habisan, bahkan sampai dihinakan, sementara kalau pelakunya adalah non muslim tidak akan pernah dipermasalahkan, walaupun istri mereka ada yang berjumlah lebih dari lima!. *Nggak adil banget*

Gue sampe bingung, mereka ini membenci poligami atau membenci Islam. *Eaaaa. Ngaku deh ngaku, jangan cuma bisa bersembunyi atas nama hak asasi wanita aja. *halah, cut!, back to surga yang tak dirindukan.

Yak, ternyata maksud dari surga yang tidak dirindukan oleh penulis adalah poligami saudara-saudara. Gara-gara nonton film ini, gue jadi mikir, gimana ya kalau kelak suami gue berpoligami, atau yang lebih melas lagi malah gue yang dijadiin istri kedua, ketiga atau bahkan keempat. Astaghfirullah... Apa bisa gue berbagi?, atau apa bisa (tega) gue membuat dongeng di atas dongeng wanita lain? (Pinjem bahasanya Arini). Gue emang nggak akan pernah tahu gimana nasib gue ke depan, tapi kalau boleh milih, tentu gue sepemahaman dengan Arini, dan mungkin juga banyak wanita akan sependapat. Kalau semua wanita diberikan pilihan, tentu wanita akan lebih memilih menjadi seperti Khadijah di sisi Rasul, atau Fatimah di sisi 'Ali. Hanya ada aku dan kamu, serta anak-anak kita. Tidak ada dia dan ia. Hanya ada kita. *Ngomong apa sih gue ini?*

Tapi ada juga lho, wanita yang menawarkan, bahkan sampai membantu sang suami berproses dengan madunya. Yang ini, terlepas ikhlas atau enggaknya hati dia yang setulusnya, tapi gue acungi jempol atas apa yang dia lakukan. Salut!. Tapi sepertinya gue nggak kepikiran buat ngikutin jejaknya.

Intinya, menurut gue film SYTD ini bagus. Lebih bagus dibandingkan dengan Assalamu'alaikum Beijing.

Udah ah, kalau gue jabarin lagi nanti gue didemo sama aktivis anti poligami. Bukan berarti gue pro poligami, cuma kalau Allah aja nggak ngelarang atau mengharamkan, masak gue harus melakukan hal sebaliknya?, siapa gue sih?.

Mohon maaf kalau ada yang tidak berkenan dengan tulisan ini. Kesalahan bisa jadi disengaja, bisa juga memang benar-benar disengaja. Akhirul kalam, wabilahi taufik wal hidayah, Wassalamu'alaikum Wr.Wb

Senin, 03 Agustus 2015

Forgive not to Forget

Forgive not to Forget

Well, gue bukan nggak tahu kalau belakangan ini ada yang suka nyindir-nyindir gue via sosmed. Mulai dari status FB, share-share tulisan di Whatsapp, poster quote, dll. Gue bukannya ke GR-an dengan mengatakan bahwa statusnya nyindir atau ditujukan buat gue, tapi gue sudah cukup lama mengenal orang-orang itu, dan gue tahu bagaimana sikap dan sifat mereka.

Kalau mereka berfikir bahwa gue bakal terintimidasi dan akan terpengaruh oleh sindiran mereka, maka gue tegaskan bahwa mereka salah besar. Gue sama sekali tidak terintimidasi atas apa yang mereka lakukan.Kalau mereka berfikir bahwa gue pergi menjauh dan dianggap memutuskan silaturahim hanya karena sebuah masalah, itu urusan mereka. toh gue sendiri mencoba bersikap biasa saja dan tidak menutup diri untuk berhubungan dengan sesiapa.

Kalau gue nggak mau meminta maaf, jelas itu masalah gue, tapi kalau ada yang bilang gue nggak mau maafin orang dan berburuk sangka dengan sikap gue tanpa mau repot buat tabayun ya itu urusan dan masalah mereka, gue mah mau tebar senyum aja. Udah gitu aja.

Ayolah... kita ini bukan anak kecil lagi yang bisanya cuma sindir-sindiran. Kalau ada yang merasa punya masalah ya silahkan diselesaikan secara dewasa, kalau nggak mau ya nggak usah rusuh sendiri. Jangan hanya bisa melemparkan kotoran ke orang lain agar diri sendiri terlihat bersih. Lagian dalam sebuah hubungan, konflik itu pasti akan selalu terjadi, tidak perlu dilebih-lebihkan.

Adakalanya orang menarik diri. Tenggelam dari permukaan dan menepi di tempat tersunyi. Entah dalam waktu sejenak atau bahkan dalam kurun waktu yang lama. Bisa jadi kini belum tiba waktu mu. Dan percaya atau tidak, kau pun akan membutuhkannya. Sendiri.

Jika berucap hanya menimbulkan luka yang terus ditahan, maka biarkan lidah itu diam, bukan bisu. Biarkan dia kembali berucap ketika seharusnya dia berucap. Jangan biarkan ia membicarakan orang lain di belakang orang tersebut. Jangan biarkan ia menjadi pengecut. Karena sekali orang itu terluka, dia tidak akan pernah bisa melupakan kenangan itu dari memorinya.

Karena memaafkan, tidak berarti melupakan.

Jumat, 10 Juli 2015

Ramadhan ini I'tikaf di mana?

Kalau sebelum-sebelumnya gue suka ngebolang dari satu masjid ke masjid yang lain, i'tikaf secara nomaden demi menemukan tempat yang comfort buat i'tikaf, dua tahun belakangan ini gue udah nggak perlu melakukan hal itu. Karena gue udah menemukan tempat yang menurut gue nyaman banget.

Fasilitas tempat MCK yang baik adalah salah satu kriteria utama selain bacaan tartil dari Sang Imam. Meskipun nggak sekece Ahmad Thaha Al-Junayd sih bacaannya, tapi ya lebih baguslah dari pada bacaan Al-Qur'an gue.

Masjid Bea Cukai. Mungkin nggak se terkenal Masjid Istiqlal, Al-Hikmah atau At-Tin dan masjid-masjid besar lainnya. Gue lupa nama asli masjidnya, At-Taubah, At-Taqwa atau apa gitu, yang jelas lebih terkenal dengan sebutan Masjid Bea cukai karena Masjid ini terletak di dalam komplek perkantoran Bea Cukai.

Ramadhan kali ini gue sungguh melongo melihat kekecean kamar mandi yang nampaknya baru dipugar habis-habisan. Selain disediakan ember kecil untuk menampung air, juga ada fasilitas showernya!, seolah-olah ingin mengatakan; "Woi, yang i'tikaf jangan lupa mandi ya"
wkwkwk. Selain itu juga kran air untuk mengambil wudhu sangat banyak, jadi orang-orang tidak perlu mengantri untuk sekedar gosok gigi dan wudhu ba'da sahur. Bagian dindingnya juga diganti dengan cermin-cermin panjang, sehingga memudahkan ibu-ibu buat ngebenerin jilbabnya. Kekurangannya hanya saat banyak pemakainya secara otomatis airnya tidak terlalu deras mengalirnya. But it's okay lah.

Buka & Sahur 100% Gratis!

Well, baru sekali sih gue ikut buka di sana, tapi memang sudah disediakan ta'jil. Dan yang tidak membawa makanan berbuka juga ditawari nasi bungkus. Please, jangan nge judge gue pelit yang cuma nyari gretongan doang. Meskipun bagian suka gretongannya nggak salah juga, tapi buat gue fasilitas Berbuka dan Sahur gratis itu adalah bonus dari Allah buat anak kos. Sebelumnya di sini untuk berbuka tidak disediakan makanan berat, hanya ta'jil saja, dan untuk menu sahur kita harus registrasi dan membayar kurang lebih 15.000 rupiah untuk membayar makanan sahur. Tapi kali ini semua benar-benar gratis, bahkan para orang tua yang membawa anak kecil juga disediakan makanan untuk sarapan anak-anaknya oleh panitia. Setahu gue sih ini sebelumnya nggak ada juga. Selepas kajian malam (ba'da tarawih) juga disediakan camilan sehat seperti kacang rebus, singkong dan ubi rebus, pisang rebus, dan rebusan-rebusan lainnya. Tenang, kalau soal air, di sana disediakan dispenser dan air galon yang siap di ganti oleh panitia ikhwan jika sewaktu-waktu habis. Kopi, teh, gula dan susu bubuk juga disediakan. Pokoknya ini masjid Woman or family friendly bangetlah menurut gue.

Seperti kebanyakan masjid lain, biasanya masjid ini akan lebih ramai di malam-malam ganjil. Itu berarti gue harus datang lebih awal dan mengambil tempat paling pojok untuk menaruh barang-barang.

Sepertinya DKM Masjid Bea Cukai paham, bahwa kamar mandi yang nyaman dapat menarik minat para shaumin dan shauimat (eh maap kalau salah nulisnya).


Nah, itu sih cerita tentang masjid favorit gue buat i'tikaf, gue yakin kalian juga punya tempat yang seru juga :)

Rabu, 08 Juli 2015

Masuk Surga Keluarga

Peringatan malam Nuzulul Qur'an sekaligus Launching Gerakan Jakarta Mengaji oleh Badan Komunikasi  Pemuda Remaja Masjid (BKPRMI) DPW DKI Jakarta bekerjasama dengan AQL (Ar-Rahman Qur'an Learning)

Acara yang dilaksanakan pada malam 17 Ramadhan atau Jum'at, 03 Juli 2015 di Masjid Jami' Istiqlal dibuka dengan pembacaan Tilawah dan Sari tilawah QS.52:1-29, 73:20.

Turut hadir Ketua Umum BKPRMI dan staff Zukhdi Mahmudi, Dr. H. Bachtiar Natsir , Ust Deden, Ust Jamil Azzaini, Ust Drs. H.Mubarrak, dll

Usai launching gerakan mengaji, dilanjutkan dengan acara Talkshow "Masuk Surga Sekeluarga" yang dimulai pukul 22.36 WIB, dimoderatori oleh Dr. H. Bachtiar Natsir. Sebagai narasumber antara lain Astri Ivo, Ust Jamil Azzaini, Ust Deden, Dude Herlino.

Menurut Ust Jamil Azzaini prinsip dalam keluarganya ialah dengan menciptakan budaya:
1. Family Value ACI (Action, Care, Customer Focus, Integritas)
2. Mendidik anak sesuai potensinya. Tidak memaksakan kehendak sendiri kepada anak-anak.
3. Sincronize (vision, action, pasion, colboration)

Sedangkan Astri Ivo selalu berpesan kepada anak-anaknya agar mereka sayang kepada Allah, karena dg begitu mereka akan kuat tidak hanya secara spiritual, intelektual, emosional, dan fisiknya. Sehingga ia lebih memperkenalkan Allah kepada anak-anaknya.

Tips Menghafalkan Al-Qur'an menurut Ust Deden yang merupakan seorang hafidz:

1. Menghafal tak harus hafal, yang terpenting adalah waktu yang telah disiapkan, menyediakan waktu minimal satu hari satu jam khusis untuk menghafal.
2. Yang dicari bukan hafalnya, tapi perasaan tentramnya dengan menghafal. Jadi kita tidak akan terbebani dan justru merasa enjoy.
3. Senang dikangenin ayat. Maksudnya adalah jangan merasa lelah karena kesulitan menghafal, tapi berpikir positiflah dengan menganggap bahwa kita sedang dirindukan oleh ayat.
4. Target bukan khatam, tetapi setia bersama Al-Qur'an. 
 Istri dan saudara Ust Deden juga merupakan hafidz/hafidzah.

Dude Herlino yang baru menjadi seorang ayah menanyakan tips-tips dari para pembicara pain terkait cara mendidik anak.

Tugas orang tua Menurut Ustadz Bachtiar Natsir:
1. Mengajarkan/menanamkan tauhid
2. Menghindarkan/menjauhkan anak dari kemusyrikan

Yak kurang lebih seperti itu rangkuman materi acara peringatan malam Nuzulul Qur'an. Karena HP lowbat jadi kagak bisa ngerekam.


Selasa, 23 Juni 2015

Siapapun Berhak Memilih Akan Menjadi Apa Ia, dan Aku, Saksikanlah Bahwa Aku Seorang Muslim!



Udah nonton video tentang kesaksian Lukman Sardi, artis senior yang kini memilih menjadi orang yang PERCAYA kan pastinya?, beberapa hari yang lalu juga gue udah nonton. Kecewa pastilah, sebagai salah seorang muslim gue harus kecewa dan mungkin juga murka atas pilihannya. Biar bagaimana pun gue tetep yakin bahwa hanya Islamlah satu-satunya agama yang Rahmatan lil ‘alamin. 

Katanya dia memutuskan untuk menjadi orang yang PERCAYA sudah sekitar enam tahun yang lalu, Cuma baru mendeklarasikannya sekarang. Yang bikin gue miris sih waktu dia bilang bahwa menjelang wafat Idris Sardi, ayahnya yang juga merupakan musisi senior mengatakan bahwa dia bangga dengan pilihan Lukman, dan diakhir video, Lukman menerangkan bahwa dia bangga karena sang ayah menjelang akhir hidupnya diyakini Lukman telah menjadi orang yang PERCAYA juga, sama sepertinya.

Kalau dari yang gue tangkep, maksudnya ayahnya sudah mempercayai Yesus sebagai Tuhan, hanya belum murtad secara langsung karena sudah keburu meninggal. Itu dari apa yang gue tangkep dari videonya loh ya, kalian boleh punya persepsi sendiri dari ucapan Lukman itu. Tapi gue nggak mau percaya gitu aja dengan kesaksiannya. Toh ayahnya sudah meninggal, jadi nggak bisa ditabayun bener enggaknya pernyataan si Lukman ini. Maklum ini hal yang sensitive, tentang sebuah kepercayaan, jadi gue nggak mau berburuk sangka kepada Idris sardi hanya karena pernyataan anaknya yang sepihak itu. Kalau Lukman mengatakannya ketika ayahnya masih hidup mungkin gue mau memikirkan cara untuk tabayun ke ayahnya.

Lukman bukan artis pertama kok yang memutuskan murtad, sebelumnya juga ada Asmirandah yang memutuskan murtad setelah menikah dengan Jonas Rivanno. Bahkan Asmirandah sudah aktif ‘berdakwah’ dari gereja ke gereja untuk memberikan kesaksian atas kemurtadannya. Videonya juga banyak di medsos.
Anggun juga bisa termasuk artis yang murtad. Setelah melewati masa pencarian, akhirnya dia memutuskan untuk berlabuh pada keyakinannya yang sekarang. Dan masih ada lagi yang lain.

Banyak ya ternyata artis yang murtad?, ember!. Nggak usah jauh-jauh deh ngomongin artis. Saudaranya temen gue juga ada yang murtad. Yang satu nikah sama bule, di ajak suaminya ke Eropa dan tinggal di sana, pas balik udah murtad. Padahal nikahnya dulu secara islami, suaminya sudah sempet bersyahadat karena orang tua si cewek nggak mau punya mantu non muslim. Tapi apa daya?, cewek kalau udah punya anak dan nggak kuat iman pasti berat, mau milih agama apa suami. Dan karena alasan-alasan kenikmatan duniawi akhirnya banyak yang memilih suami ketimbang mempertahankan keyakinannya. Contohnya lagi adalah saudara temen gue yang lain. Nikah sama lelaki non muslim, sampai sekarang biaya hidupnya ditanggung oleh gereja dengan syarat dia mau memberikan kesaksian dan ‘berdakwah’ dari gereja ke gereja. Atau ada juga yang murtad karena kecewa dengan orang muslim yang lain. 

Masih banyak lagi kok orang-orang yang murtad karena iming-iming harta dan kenikmatan dunia lainnya, termasuk apa yang disebut dengan cinta. Mungkin itu sebabnya, banyak orang tua yang nggak setuju anaknya menikah sama non muslim karena khawatir anaknya ini akan murtad suatu saat. Dan nggak bisa juga orang tua sembarangan mengajukan syarat agar calon mantunya itu bersyahadat hanya agar pernikahan mereka bisa disahkan. Karena banyak juga kasus, setelah menikah maka mereka akan kembali kepada keyakinan mereka yang dulu, bahkan sampai mengajak anak-istri atau sumai mereka untuk mengikuti kepercayaan mereka. Ya begitulah kalau bersyahadat bukan karena lillahi ta’ala. Agama dijadikan sebagai sebuah permainan atau ajang sandiwara belaka. 

Coba deh lihat orang-orang di sekitar kita, jangan-jangan banyak juga yang murtad tapi kita nggak tahu, atau memang kita yang nggak mau peduli dengan hal-hal semacam ini. Jangan-jangan sekarang sudah banyak yang bilang bahwa ini “Bukan urusan saya” terhadap keadaan iman saudaranya. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah…

Marah, geram, dan jijik mungkin adalah hal-hal yang gue rasakan ketika mendengar kemurtadan. Oh come on!, silahkan katakan gue fanatik atau apalah, toh gue yakin, orang-orang di sebelah sana (yang bersebrangan keyakinannya dengan gue) pasti juga akan merasakan hal yang sama seperti yang gue rasakan ketika ada pengikutnya yang murtad dan memutuskan masuk islam. Gue nggak suka dengan murtadnya mereka, tapi gue juga nggak mau menghina, menghakimi dan mencaci mereka hanya karena kini kita berbeda kepercayaan. Gue justru muak dengan orang-orang yang menghina dan menghakimi orang lain, apapun alasannya. Seringkali juga gue berfikir; ‘Oh, pantes aja mereka tambah mantep murtad, lha wong yang muslimnya aja kebangetan responnya. Bukannya membangun komentar yang positif dan membangun, malah ngatain nggak jelas.’  

Menurut gue karena kenyinyiran beberapa muslimin ketika melihat satu-dua orang yang murtadlah yang membuat mereka menjadi semakin tidak respek lagi dengan islam. Sebagai contoh ketika kasusnya Asmirandah. Media terlalu membesar-besarkan berita, sampai perseteruannya dengan sang ayah pun diberitakan dan dikomentari oleh publik. Kalau gue jadi andah pasti gue juga gerah dan muak atas segala jenis pemberitaan. Biar bagaimanapun kan dia membutuhkan privasi.
 
Ayolah… apa sih hak kita sehingga kita berani menghakimi orang lain?, siapa juga kita sehingga berani mencaci dan menghina mereka?. 'We are nothing man!, we are zero without Allah azza wajalla!'

Siapa sih yang bisa ngejamin bahwa keimanan kita ini bisa bertahan selamanya?, siapa sih yang bisa ngejamin bakalan bisa ngejaga nikmat iman dan islam yang udah Allah kasih cuma-cuma?. DIA itu Maha Pembolak-balik hati, nggak cukup kita ngomong ‘Saya Beriman’ melainkan Allah pasti bakal mengujinya terlebih dahulu dengan berbagai macam cara. 

Hari ini gue muslim, besok, lusa, siapa tahu?

Gue bukannya ngarep bakalan murtad, bukan!. Na’dzubillahi mindzalik malahan. Tapi gue cuma nggak mau aja orang-orang muslim terutama orang-orang di sekitar gue, menanggapi hal semacam ini dengan cara yang kampungan. Menghujat satu sama lain dan menganggap bahwa dirinya yang paling benar, sementara sendirinya belum tentu sudah menjadi muslim yang baik. Ini perkara hati, ini perkara iman, ini perkara hidayah, dan ini jelas-jelas hak prerogatifnya Allah, jadi nggak usah sombong karena memang kita nggak punya apa-apa untuk disombongkan.

Masih ingetkan kisah Abu Thalib?, paman nabi yang hingga ujung usianya belum juga bersyahadat atau memeluk islam meskipun beliau adalah salah satu orang yang paling membela dan mendukung nabi. Menurut lo kenapa bisa sampai kayak gitu?, apa karena Rasulullah yang kurang niat dalam berdakwah?, enggak juga. Rasulullah selalu mengajak pamannya ini untuk mengikuti jalannya. Rasulullah bahkan sedih dan terpukul ketika pamannya ini wafat sebelum memeluk islam. Kemudian Allah menyadarkan Rasulullah, bahwa hidayah itu bukan urusannya, melainkan urusan Sang Pencipta dengan ciptaannya langsung.

Jadi kalau sekelas Abu Thalib yang turut terlibat langsung dalam dakwah Rasulullah di awal kenabian saja belum tentu mendapatkan hidayah, apalagi sekelas Lukman Sardi atau orang-orang lain jaman sekarang?. Dari pada sibuk menghakimi yang di luar batas kemampuan diri, mengapa kita tidak berlelah-lelah untuk mendo’akan mereka dan orang-orang di sekitar kita saja? agar Allah memberikan hidayah-NYA kepada mereka, dan semoga Allah melenyapkan kesombongan yang ada dalam diri. Kita tidak boleh lupa untuk terus meminta agar nikmat Iman serta Islam yang kita telah miliki ini, bisa kita jaga dan mempertahankannya hingga akhir penghambaan di dunia ini.

Oya, pernah dengar pepatah gugur satu tumbuh seribu?

Ya anggap aja Dian Sastro Wardoyo, Marsha Timothy, Bella Safira, Marcel, Diego, Muhammad Ali, dan sejumlah artis lain yang memutuskan menjadi muallaf itu adalah pengganti saudara kita yang murtad itu, belum lagi dengan para muallaf dari berbagai penjuru dunia yang dikabarkan terus meningkat. Jadi kita tidak perlu berkecil hati. Dan semoga Islam tidak hanya Berjaya dari segi kuantitas, tetapi juga kualitas.
Tadinya gue udah mau masukin Tyrese Gibson, salah satu pemain Fast Furious. Tapi ternyata do’I sudah klarifikasi terkait isu yang beredar bahwa dia telah menjadi muallaf.
 
atau baca aja dah twitternya dia di sini https://twitter.com/Tyrese

Duh, kadang gemes ya, sama orang-orang yang hobi banget nyebarin berita viral tanpa mau klarifikasi terlebih dahulu. Padahal kan hal semacam ini bisa aja menimbulkan konflik dan merugikan orang lain atau pun diri sendiri.

Okay, at last, mungkin lo udah pernah dengar ini. Pun menurut gue juga, pada dasarnya semua orang itu terlahir sebagai muslim. Hanya saja TAKDIR lingkungan tumbuh kembang masing-masing orang itu berbeda. Ada yang tumbuh di dalam keluarga atheis, Kristiani, Budhis, dan sebagainya. Tapi untuk menjadi seorang muslim itu adalah pilihan dan hak semua orang tanpa terkecuali. Siapa pun bebas memilih dan memutuskan akan menjadi apa ia. Karena faktanya tidak semua yang terlahir dan di didik secara islami dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya bisa mencerminkan bahwa dia adalah seorang muslim. Mulai dari gaya hidup, pola pikir, dan lain-lainnya. Bahkan banyak muslim yang akhirnya mangkir dan berpaling dari Islam karena mereka belum memahami apa Islam sebenarnya. 

Wallahu a’lam bishowab

Semoga kita adalah orang yang bersyukur telah dikaruniakan nikmat Iman dan Islam ini, dan semoga Allah senantiasa menguatkan kita untuk tetap bisa Istiqamah dijalan-NYA. Aaamiiin.

Ramadhan Mubarrak, Semangat memperbaiki diri.

Jumat, 19 Juni 2015

Peduli Diri Sendiri?, No Worry Lah Yau!: About Me and Cancer



Gue segera nelpon om jutek tapi selalu menjadi yang terbaik buat gue pas denger kabar dia sakit dan harus dioperasi tapi entah karena alasan apa dia nolak untuk dioperasi. Dia lebih memilih membiarkan sakitnya memburuk. Dengan gaya orang yang paham dengan dunia kedokteran (padahal gue hanya pernah bekerja di kamar operasi dan sudah pernah melihat orang dengan berbagai penyakit di operasi di depan mata), gue berhasil meyakinkan om gue itu supaya dia mau mengikuti prosedur medis yang dokter sarankan. 

“Gue nggak mau seumur hidup gue harus buang air besar melalui lubang yang dibuat di perut gue.”

“Ayolah om!, ini nggak akan separah seperti yang om khawatirkan. Aku pernah ngeliat orang dengan sakit seperti yang om alami saat ini bahkan mungkin lebih parah. Mereka memang harus menggunakan kantong diatermi, tapi kalau lukanya sudah sembuh, om bisa BAB pake anus om lagi. Percaya deh!” ucap gue penuh percaya diri.

“Tapi dokter bilang ini akan jadi permanen. Om nggak mau!” Gue berpikir sejenak. Oke gue ngerti. Siapa pun orangnya yang nggak pernah bersentuhan dengan dunia kedokteran pasti bakal berpikiran yang enggak-enggak kalau mendengar kata ‘operasi’. Bahkan perawat yang tidak pernah bekerja di kamar operasi (meskipun waktu pendidikan keperawatan mereka pernah sedikit belajar di kamar operasi), mereka akan bertanya ini-itu dan suka ngeri membayangkan pasien mereka yang akan atau telah selesai dioperasi karena berbagai penyakitnya. Jadi gue juga nggak akan nyalahin om gue yang sudah parno duluan karena diagnosis dokter yang menyatakan bahwa dia menderita kanker anal. Apalagi anus adalah salah satu organ vital manusia, maksud gue, hampir setiap hari makhluk hidup normal harus buang air besar melalui anus, dan sudah beberapa bulan terakhir om gue menderita karena setiap BAB pasti berdarah.

“Ckk!, nggak gitu om. Sakit kanker atau tumor, kalau semakin lama didiemin maka dia akan semakin parah. Emang om mau nanti anusnya membusuk?. Gimana hasil pemeriksaannya?”

“Dokter bilang kankernya sudah membentuk lingkaran, jadi bakal ditutup permanen.” Ucapnya prustasi, ada nada ngeri dari setiap kata yang keluar dari mulutnya di sebrang sana.

“Ayolah, om tenang. Ikuti dulu prosedur yang dokter sarankan. Proses ini-itunya om jalanin aja sampai hasil labnya keluar, nggak usah panik, nggak usah setress, pokoknya nggak usah dipikirin, pasti ada jalan kok. Kita tunggu hasil medis nanti. Pokoknya jangan main supranatural-supranaturalan. Ini penyakit medis, bukan penyakit dukun.” Ancam gue

“Kalau misalkan dokter bilang masih bisa dioperasi tapi nggak harus ditutup permanen alhamdulillah, tapi kalau misalkan dokter bilang harus ditutup permanen kita nego supaya dikemo atau disinar aja. Sementara ini Kita lakukan pencegahan supaya penyakitnya nggak memburuk.”

“Om mendingan dikemo aja dari pada dioperasi.” ucapnya pelan.

“iya, kita tunggu gimana hasilnya nanti ya.”

“Kalau bisa gue cegah pake makanan mending gue cegah. Apa yang harus gue hindari dan apa yang harus gue konsumsi.”

Biji anggur kaya akan anti oksidan, dia paling bagus sebagai anti kanker, sirsak juga, terus mengkudu juga, masih banyak lagi buah yang kaya anti oksidan. Nanti aku beliin aja herbalnya.” 

Diskusi pun berlanjut dengan apakah biji anggur harus dikunyah atau ditelan?, kemudian kemungkinan lebih manjur mana makan mengkudu langsung atau meminum kapsulnya? dan permintaannya untuk mencarikan informasi tentang makanan yang baik untuk mengobati penyakitnya di internet yang dari awal memang sudah sangat ingin gue lakukan.

“Ok om, nanti aku kabarin lagi, tapi inget, jangan setress, ok?, Assalamu’alaikum.”

“Iya, Wa’alaikumussalam.”

Yah seenggaknya itu sepintas percakapan gue dengan my beloved uncle. Gue ngerti, sengeyel-ngeyelnya om gue itu, dia akan nurut sama gue kalau soal yang beginian, berbekal pengalaman gue di rumah sakit dua tahun lalu tentunya.

Kurang lebih dua tahun gue bekerja sebagai Administrasi Apotik di dalam kamar operasi. Jobdesk gue sebenarnya mengurusi administrasi pasien swasta, askes, jamsostek, SKTM, dan lain-lain. Tapi itu cuma tugas pokok gue, karena selain itu gue juga turut membantu menyediakan obat-obatan yang diperlukan oleh dokter anasthesi untuk membius pasiennya, mulai dari fentanyl, morphin, atrophin sulfas, epedhrin, epinephrine, lidocain, propofol, kliran, dan obat-obatan ampul lainnya. Juga perlengkapan dokter dan perawat bedah mulai dari handscoen steril, set betadin, alkohol, urine bag, kassa steril, jarum & benang jahit, folley catheter, dan lainnya adalah sahabat gue sehari-hari. Dan sumpah gue mencintai tugas sampingan gue ini. Gue mencintai dunia kesehatan karena dulu cita-cita kecil gue adalah menjadi Dokter, itu sebabnya gue sangat bersyukur bisa atau sempat bekerja di Rumah Sakit meskipun bukan sebagai dokter.

Gue pernah ngeliat kaki orang lagi dibor pake alat yang gede-gede, bunyinya kayak orang lagi ngebor besi atau kayu, kemudian dipasangi sekrup dan besi. Gue pernah ngeliat orang lagi di seksio (Sesar), juga pasien di curret  dan dikeluarkan janin yang tidak berkembang dari dalam rahimnya secara langsung, ngeliat anak disunat juga udah biasa. 

Keadaan seringkali membuat gue dan tim harus bolak-balik nganterin obat ke kamar operasi karena pasien kritis, sementara perawat dan dokter sibuk dengan pasiennya yang sedang berjuang antara hidup dan mati di meja kamar operasi. Seringkali juga kami membantu perawat menuangkan formalin ke dalam kantong plastik yang berisi organ tubuh manusia yang karena sakitnya seperti kanker ganas, kecelakaan, dan lain-lain sehingga harus diangkat (dioperasi), seperti payudara yang besarnya lebih besar dari bola sepak. Biasanya jaringan ini sudah tidak berbentuk lagi sehingga hanya terlihat merah darah dan lendir saja.
Atau terkadang gue menjumpai perawat yang bertugas di OK I (Oka satu-red) yang khusus menangani pasien bedah saraf, sedang mencuci batok kepala pasiennya yang pecah dan harus disimpan untuk kemudian dipasang lagi jika keadaan pasien membaik, atau dilenyapkan jika pasien akhirnya menghadap ilahi. Dan masih banyak hal yang gue dapatkan selama bekerja di sana. Pengalaman-pengalaman menakjubkan yang masih bisa gue kenang.

Gue dan TIM kalau sedang beruntung minimal sehari sekali harus menyediakan obat anasthesi dan juga perlengkapan bedah khusus untuk pasien OK VIII. OK ini biasanya merupakan OK khusus yang digunakan untuk operasi penyakit berat seperti jantung, ginjal, dll. Bisa hampir seharian buat nyiapin persiapan operasi pasien OK VIII ini, waktu itu malah pernah marathon, sehari lebih dari satu pasien. Dan selama dua tahun bekerja di sana hanya sekali gue menyiapkan set operasi untuk pasien yang operasi transplantasi ginjal. 

Kita paling ngeri setiap harus melayani pasien pengidap HIV, jangan ditanya seberapa rempongnya persiapan untuk pembedahan pasien pengidap HIV ini, rempong binggo man!. Kita harus menyiapkan perlengkapan khusus untuk digunakan sebagai alas pasien di meja operasi, baju dokter dan perawat, pokoknya perlengkapan operasi untuk pasien HIV harus extra savety than other operation, maklum, namanya juga HIV, nggak tahu kan apesnya orang itu kapan?, kalau tiba-tiba ketularan gimana?, hiiii… Na’udzubillah dah.

Oke udah ngalor-ngidulnya. Back to cancer. Gue kenal kanker ini sejak gue mengikuti PMR Wira di sekolah. Seenggaknya gue dapet sedikit bekel tentang kesehatan, sehingga ketika April 2012 gue menyadari ada benjolan di salah satu organ tubuh gue, gue segera kosultasi ke bos gue di farmasi dan meminta ijin untuk periksa ke dokter. Benar saja, setelah di USG gue positif terkena ca mamae sinistra, bahasa manusianya tumor jinak di dada sebelah kiri. 

Dari yang gue pahami, ada beberapa jenis kanker ini, ada yang berbentuk padat dan cair. Allah ngasih gue jatah yang padat. Katanya yang padat ini masih mending, bisa dioperasi benjolannya itu, sementara yang cair, kalau benjolan dalam jumlah banyak dan memenuhi seluruh bagian organ tubuhnya, maka akan sulit menyembuhkannya. Dokter pun memberikan surat untuk tes ini dan itu sebelum operasi berlangsung. Mulai dari tes darah sampai photo thorax. 

Mama Ye (bos gue di faramasi) adalah salah satu orang yang syok dan selalu berusaha menyemangati, menghibur dan menguatkan gue untuk mau dioperasi dan melarang gue untuk ke dukun (padahal gue sama sekali nggak ada kepikiran buat ke dukun). Mama Ye ini the best bos ever lah. Dia juga pernah diangkat rahimnya karena sakit mium. Teman-teman di apotik kamar operasi juga mendukung keputusan gue untuk dioperasi. Padahal tanpa mereka paksa pun gue akan dengan senang hati dioperasi ketimbang kelak, suatu saat harus mengangkat organ tubuh gue yang semakin parah karena kemalasan atau ketakutan gue untuk operasi. Gue tetap stay cool karena gue sudah sering melihat pasien dengan diagnosis yang sama atau bahkan lebih parah dari gue, dan gue tahu, operasi itu tidak semengerikan seperti apa yang orang awam pikirkan, operasi itu salah satu ikhtiar, salah satu solusi untuk menghadapi suatu penyakit aneh jaman sekarang. Jadi gue sama sekali nggak takut. 

Gue inget, hari jum’at seharusnya gue dirawat inap pra operasi, tapi gue malah mengikuti Mubes IKBM di puncak, sehingga gue merepotkan ipane-pane (temen di OK) untuk mengurus segala persiapan operasi. Dan sepulang gue dari Mubes gue harus menghadapi keganasan perawat ruangan di mana seharusnya gue bermalam, karena gue sudah melalaikan kewajiban seorang pasien untuk dirawat. Gue pun harus merepotkan mba Ciko (perawat bedah) untuk membantu mendapatkan surat ijin dari Dokter jaga di IGD (Instalasi Gawat Darurat) supaya gue diijinin masuk ruang perawatan. Gue sadar kalau kerjaan gue emang ngerepotin orang. Duh Risti….

Ketika beberapa hari kemudian gue sudah terbaring di dalam OK yang biasa gue lewatin bolak-balik, Mama Ye dan teman di dalam farmasi OK datang dan kembali menyemangati gue. Mereka masih berfikir bahwa gue takut dan tegang.

“Udah siap ya?” Tanya seorang perawat yang sudah sangat gue kenal. Gue Cuma mengangguk, membiarkannya mencari pembuluh darah, menancapkan jarum dan membuat saluran agar cairan Ringer Lactat masuk ke dalam tubuh. Perawat dan dokter yang menangani gue  terheran-heran melihat monitor yang menunjukkan detak jantung gue berdetak ‘terlalu’ normal, tidak seperti kebanyakan pasien yang akan dioperasi.

“Eh, kamu mau dioperasi kok tenang-tenang aja sih?” aku tergelak mendengar pertanyaan perawat yang lain sesaat setelah ia menempelan tiga lembar NDM di sekitar dada. 

‘Ya ampun, ini Cuma operasi kecil, jangan lebai deh dok.’ Gumam gue dalam hati.

Beberapa hari sebelum operasi nggak adasatu pun keluarga gue yang tahu bahwa gue akan dioperasi. Tapi karena gue butuh tandatangan wali, akhirnya gue menghubungi abang gue dan memintanya menandatangani surat persetujuan operasi, dia juga yang menemani gue selama beberapa hari sebelum dan sesudah operasi karena gue butuh seseorang untuk mengurus administrasi dan menebus obat di apotik. Dan karena gue juga butuh do’a bonyok, akhirnya dengan terpaksa gue menghubungi dan mengabarkan kepada mereka bahwa besok gue akan dioperasi. Gue melarang keras mereka yang waktu itu maksa untuk nyusulin gue ke Jakarta. Gue meyakinkan mereka bahwa ini hanya operasi kecil dan gue akan baik-baik saja.

Sebelum obat bius dokter bekerja, banyak perawat anasthesi dan bedah yang nggak nyangka bahwa gue adalah pasien mereka hari itu, karena jadwal pasien memang dipasang ketika sudah sore, dan qadarullah nama dan status gue yang dipasang di jadwal operasi ada yang salah. Mereka berdatangan dan turut memberikan semangat di OK IX. Gue emang udah request supaya dokter dan perawat bedah yang menangani gue adalah cewek, tapi sialnya gue lupa me-request supaya perawat anasthesinya juga cewek. Dan gue pasrah, karena sebelum gue meminta supaya perawat ini diganti gue sudah tidak sadarkan diri. Gue sadar beberapa saat di recovery room untuk kemudian tidak sadarkan diri lagi akibat pengaruh bius totalnya belum benar-benar hilang.

Oh begini rasanya nge-fly’. Gue memang dibius total menggunakan salah satu jenis narkotika. Entah berapa lama gue tidur, dan ketika gue bangun gue udah di ruangan bercat putih bertirai hijau. Gue sudah kembali di ruang rawat inap. Di sana sudah ada dua om tengil dan abang gue.

“Gue pikir lo mati Ris, nggak bangun-bangun” Gue nggak sempet menanggapi gurauannya, yang faktanya juga tersirat nada kekhawatiran di sana. Entah kapan mereka pamit, karena setahu gue, gue sudah kembali tertidur karena mata gue masih berat dimelekin.

Coass cewek yang visit menanyakan keadaan gue yang jelas terlihat sangat baik kalau saja efek obat bius itu sudah benar-benar hilang. Dan seperti yang lain dia juga berusaha menguatkan gue dan mengatakan bahwa gue baik-baik saja. Gue hanya tersenyum ramah, mendengarkannya yang bercerita bahwa dia juga pernah dioperasi karena penyakit yang sama.

“Saya juga pernah dioperasi, sempet tumbuh lagi, tapi kemudian ilang. Kemungkinannya untuk tumbuh lagi sangat mungkin terjadi, jadi lebih baik hindari saja fast food seperti burger, mie, telur, ayam, dan lain-lain.” Sarannya. Gue nggak kaget tentang kemungkinan penyakit itu tumbuh lagi, mengingat teman di OK juga ada yang pernah mengalami itu.

“Terimakasih dok.” Ucap gue sambil tersenyum. Setelah tiga hari gue pun meminta untuk pulang.

Kesalahan gue waktu itu adalah karena gue nggak ngambil hasil Pathology Anathomi dari daging tumor yang waktu itu diangkat, jadi gue nggak tahu apakah itu tumor jinak atau ganas. Makanya sampai sekarang gue belum jadi-jadi meriksain benjolan yang kembali tumbuh di sekitar bagian organ tubuh yang dulu dioperasi karena pasti bakal ditanyain hasil PA operasi yang lalu, kemudian dokter akan nyalahin gue, nyeramahin ini dan itu seperti beberapa waktu yang lalu saat gue melakukan USG di salah satu klinik swasta nomor satu di Jakarta. Gue bukannya dilayani malah diomeli. Ish….

Tapi tenang, gue udah punya rencana buat berobat pake BPJS ba’da idul fitri. Meskipun gue udah nggak kerja di rumah sakit, tapi gue masih cinta kok dengan dunia kesehatan, biarpun gue nggak pandai menjaga kesehatan. Siapa tahu aja gue bakal ketemu lagi sama dokter ganteng idaman karena penyakit yang dititipin ke gue ini, wkwkwk.

Eh, bukan itu intinya gue nulis ngalor-ngidul. Gue Cuma pingin temen-temen dan semua orang di sekitar gue itu sadar, bahwa sakit itu harus dihadapi, bukan dihindari. Jangan takut memeriksakan kesehatannya kalau memang dirasa ada sesuatu yang aneh pada diri kita. Semacam benjolan yang tidak pada tempatnya, sering kram perut, dan sebagainya. Terutama cewek, biasanya sakit semacam kanker serviks, payudara, dan lainnya ada gejalanya, tapi kebanyakan takut buat memeriksakannya. Padahal sakit kayak begini kalau didiemin bukannya sembuh lho, tapi malah semakin membuat virus di dalam tubuh kita itu menjadi sel kaker ganas. Eh tapi jangan dikira cowok enggak beresiko juga ya, cowok juga memiliki resiko terkena kanker payudara lho!, nggak percaya? Coba baca buku-buku kesehatan.

Oya, Kenapa gue bilang sakit itu adalah titipan?, karena sakit itu haknya DIA mau ngasih ke siapa. Ada orang yang udah ngejaga makanannya, diet ini-itu, rajin olah raga, tapi ternyata masih kena stroke, kanker, leukemia, dll. 

Nyokap gue contohnya. Diusianya yang sudah berkepala lima, nggak ada angin nggak ada hujan, eh, maksud gue nggak ada gejala apa-apa, tapi ternyata sudah divonis dokter terkena kanker serviks waktu berobat ke RSUD karena beberapa hari sebelumnya mengalami kram perut dan pendarahan saat menstruasi. Padahal gue tahulah kalau nyokap gue ya ngejaga makanan, selalu bangun sebelum subuh, jalan kaki ke mushola, terus kerja seharian di pasar. Boro-boro makan yang macem-macem, di kampung mana ada itu burger, nugget?. Bakso, telur, ayam potong, juga pasti jarang masak dan lebih sering masak ikan. Tapi toh buktinya nyokap gue kena serviks bahkan harus dirujuk ke rumah sakit provinsi karena dokter RSUD sudah angkat tangan. Sudah stadium berapa entah. Gue minta nyokap dioperasi pun nggak bisa karena sudah parah. Hanya bisa di kemoteraphy katanya. Ya begitulah akhirnya. Nyokap baru selesai menjalani kemo nya beberapa bulan yang lalu, dan masih menjalani berobat jalan sampai sekarang. Jadi sebulan sekali harus ke Semarang menemui dokter Edi yang baik hati.

Kita nggak perlu maki-maki dan merutuki nasib diri. Kalau kalian berpikir bahwa DIA nggak adil udah nitipin sakit ini dan itu ke kalian (baca aja kita), mungkin kita perlu mengingat kembali, bahwa sakit itu dapat menjadi penggugur dosa-dosa kita. Kita hanya perlu berharap dan berdo’a, agar disetiap sakit yang kita rasakan, maka akan gugur pula setiap dosa-demi dosa yang telah kita lakukan.

Terkadang gue merasa ke GR-an sama DIA. Gue berpikir bahwa Tuhan memang sengaja menitipkan penyakit itu khusus, spesial hanya buat gue dan orang-orang di sekitar gue. Nggak tahu pasti kenapa, tapi mungkin DIA pingin melihat bagaimana reaksi gue dan mereka nggak hanya saat kita diberi berbagai kenikmatan, tetapi juga saat kita diberi sesuatu yang mungkin awalnya menurut kita adalah hal yang menyakitkan.

Gue yakin, gue Cuma perlu bersyukur dan terus melakukan yang terbaik. Begitu pun dengan kalian. 

Be Smart, care your self and whoever around you!