Selasa, 23 Juni 2015

Siapapun Berhak Memilih Akan Menjadi Apa Ia, dan Aku, Saksikanlah Bahwa Aku Seorang Muslim!



Udah nonton video tentang kesaksian Lukman Sardi, artis senior yang kini memilih menjadi orang yang PERCAYA kan pastinya?, beberapa hari yang lalu juga gue udah nonton. Kecewa pastilah, sebagai salah seorang muslim gue harus kecewa dan mungkin juga murka atas pilihannya. Biar bagaimana pun gue tetep yakin bahwa hanya Islamlah satu-satunya agama yang Rahmatan lil ‘alamin. 

Katanya dia memutuskan untuk menjadi orang yang PERCAYA sudah sekitar enam tahun yang lalu, Cuma baru mendeklarasikannya sekarang. Yang bikin gue miris sih waktu dia bilang bahwa menjelang wafat Idris Sardi, ayahnya yang juga merupakan musisi senior mengatakan bahwa dia bangga dengan pilihan Lukman, dan diakhir video, Lukman menerangkan bahwa dia bangga karena sang ayah menjelang akhir hidupnya diyakini Lukman telah menjadi orang yang PERCAYA juga, sama sepertinya.

Kalau dari yang gue tangkep, maksudnya ayahnya sudah mempercayai Yesus sebagai Tuhan, hanya belum murtad secara langsung karena sudah keburu meninggal. Itu dari apa yang gue tangkep dari videonya loh ya, kalian boleh punya persepsi sendiri dari ucapan Lukman itu. Tapi gue nggak mau percaya gitu aja dengan kesaksiannya. Toh ayahnya sudah meninggal, jadi nggak bisa ditabayun bener enggaknya pernyataan si Lukman ini. Maklum ini hal yang sensitive, tentang sebuah kepercayaan, jadi gue nggak mau berburuk sangka kepada Idris sardi hanya karena pernyataan anaknya yang sepihak itu. Kalau Lukman mengatakannya ketika ayahnya masih hidup mungkin gue mau memikirkan cara untuk tabayun ke ayahnya.

Lukman bukan artis pertama kok yang memutuskan murtad, sebelumnya juga ada Asmirandah yang memutuskan murtad setelah menikah dengan Jonas Rivanno. Bahkan Asmirandah sudah aktif ‘berdakwah’ dari gereja ke gereja untuk memberikan kesaksian atas kemurtadannya. Videonya juga banyak di medsos.
Anggun juga bisa termasuk artis yang murtad. Setelah melewati masa pencarian, akhirnya dia memutuskan untuk berlabuh pada keyakinannya yang sekarang. Dan masih ada lagi yang lain.

Banyak ya ternyata artis yang murtad?, ember!. Nggak usah jauh-jauh deh ngomongin artis. Saudaranya temen gue juga ada yang murtad. Yang satu nikah sama bule, di ajak suaminya ke Eropa dan tinggal di sana, pas balik udah murtad. Padahal nikahnya dulu secara islami, suaminya sudah sempet bersyahadat karena orang tua si cewek nggak mau punya mantu non muslim. Tapi apa daya?, cewek kalau udah punya anak dan nggak kuat iman pasti berat, mau milih agama apa suami. Dan karena alasan-alasan kenikmatan duniawi akhirnya banyak yang memilih suami ketimbang mempertahankan keyakinannya. Contohnya lagi adalah saudara temen gue yang lain. Nikah sama lelaki non muslim, sampai sekarang biaya hidupnya ditanggung oleh gereja dengan syarat dia mau memberikan kesaksian dan ‘berdakwah’ dari gereja ke gereja. Atau ada juga yang murtad karena kecewa dengan orang muslim yang lain. 

Masih banyak lagi kok orang-orang yang murtad karena iming-iming harta dan kenikmatan dunia lainnya, termasuk apa yang disebut dengan cinta. Mungkin itu sebabnya, banyak orang tua yang nggak setuju anaknya menikah sama non muslim karena khawatir anaknya ini akan murtad suatu saat. Dan nggak bisa juga orang tua sembarangan mengajukan syarat agar calon mantunya itu bersyahadat hanya agar pernikahan mereka bisa disahkan. Karena banyak juga kasus, setelah menikah maka mereka akan kembali kepada keyakinan mereka yang dulu, bahkan sampai mengajak anak-istri atau sumai mereka untuk mengikuti kepercayaan mereka. Ya begitulah kalau bersyahadat bukan karena lillahi ta’ala. Agama dijadikan sebagai sebuah permainan atau ajang sandiwara belaka. 

Coba deh lihat orang-orang di sekitar kita, jangan-jangan banyak juga yang murtad tapi kita nggak tahu, atau memang kita yang nggak mau peduli dengan hal-hal semacam ini. Jangan-jangan sekarang sudah banyak yang bilang bahwa ini “Bukan urusan saya” terhadap keadaan iman saudaranya. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah…

Marah, geram, dan jijik mungkin adalah hal-hal yang gue rasakan ketika mendengar kemurtadan. Oh come on!, silahkan katakan gue fanatik atau apalah, toh gue yakin, orang-orang di sebelah sana (yang bersebrangan keyakinannya dengan gue) pasti juga akan merasakan hal yang sama seperti yang gue rasakan ketika ada pengikutnya yang murtad dan memutuskan masuk islam. Gue nggak suka dengan murtadnya mereka, tapi gue juga nggak mau menghina, menghakimi dan mencaci mereka hanya karena kini kita berbeda kepercayaan. Gue justru muak dengan orang-orang yang menghina dan menghakimi orang lain, apapun alasannya. Seringkali juga gue berfikir; ‘Oh, pantes aja mereka tambah mantep murtad, lha wong yang muslimnya aja kebangetan responnya. Bukannya membangun komentar yang positif dan membangun, malah ngatain nggak jelas.’  

Menurut gue karena kenyinyiran beberapa muslimin ketika melihat satu-dua orang yang murtadlah yang membuat mereka menjadi semakin tidak respek lagi dengan islam. Sebagai contoh ketika kasusnya Asmirandah. Media terlalu membesar-besarkan berita, sampai perseteruannya dengan sang ayah pun diberitakan dan dikomentari oleh publik. Kalau gue jadi andah pasti gue juga gerah dan muak atas segala jenis pemberitaan. Biar bagaimanapun kan dia membutuhkan privasi.
 
Ayolah… apa sih hak kita sehingga kita berani menghakimi orang lain?, siapa juga kita sehingga berani mencaci dan menghina mereka?. 'We are nothing man!, we are zero without Allah azza wajalla!'

Siapa sih yang bisa ngejamin bahwa keimanan kita ini bisa bertahan selamanya?, siapa sih yang bisa ngejamin bakalan bisa ngejaga nikmat iman dan islam yang udah Allah kasih cuma-cuma?. DIA itu Maha Pembolak-balik hati, nggak cukup kita ngomong ‘Saya Beriman’ melainkan Allah pasti bakal mengujinya terlebih dahulu dengan berbagai macam cara. 

Hari ini gue muslim, besok, lusa, siapa tahu?

Gue bukannya ngarep bakalan murtad, bukan!. Na’dzubillahi mindzalik malahan. Tapi gue cuma nggak mau aja orang-orang muslim terutama orang-orang di sekitar gue, menanggapi hal semacam ini dengan cara yang kampungan. Menghujat satu sama lain dan menganggap bahwa dirinya yang paling benar, sementara sendirinya belum tentu sudah menjadi muslim yang baik. Ini perkara hati, ini perkara iman, ini perkara hidayah, dan ini jelas-jelas hak prerogatifnya Allah, jadi nggak usah sombong karena memang kita nggak punya apa-apa untuk disombongkan.

Masih ingetkan kisah Abu Thalib?, paman nabi yang hingga ujung usianya belum juga bersyahadat atau memeluk islam meskipun beliau adalah salah satu orang yang paling membela dan mendukung nabi. Menurut lo kenapa bisa sampai kayak gitu?, apa karena Rasulullah yang kurang niat dalam berdakwah?, enggak juga. Rasulullah selalu mengajak pamannya ini untuk mengikuti jalannya. Rasulullah bahkan sedih dan terpukul ketika pamannya ini wafat sebelum memeluk islam. Kemudian Allah menyadarkan Rasulullah, bahwa hidayah itu bukan urusannya, melainkan urusan Sang Pencipta dengan ciptaannya langsung.

Jadi kalau sekelas Abu Thalib yang turut terlibat langsung dalam dakwah Rasulullah di awal kenabian saja belum tentu mendapatkan hidayah, apalagi sekelas Lukman Sardi atau orang-orang lain jaman sekarang?. Dari pada sibuk menghakimi yang di luar batas kemampuan diri, mengapa kita tidak berlelah-lelah untuk mendo’akan mereka dan orang-orang di sekitar kita saja? agar Allah memberikan hidayah-NYA kepada mereka, dan semoga Allah melenyapkan kesombongan yang ada dalam diri. Kita tidak boleh lupa untuk terus meminta agar nikmat Iman serta Islam yang kita telah miliki ini, bisa kita jaga dan mempertahankannya hingga akhir penghambaan di dunia ini.

Oya, pernah dengar pepatah gugur satu tumbuh seribu?

Ya anggap aja Dian Sastro Wardoyo, Marsha Timothy, Bella Safira, Marcel, Diego, Muhammad Ali, dan sejumlah artis lain yang memutuskan menjadi muallaf itu adalah pengganti saudara kita yang murtad itu, belum lagi dengan para muallaf dari berbagai penjuru dunia yang dikabarkan terus meningkat. Jadi kita tidak perlu berkecil hati. Dan semoga Islam tidak hanya Berjaya dari segi kuantitas, tetapi juga kualitas.
Tadinya gue udah mau masukin Tyrese Gibson, salah satu pemain Fast Furious. Tapi ternyata do’I sudah klarifikasi terkait isu yang beredar bahwa dia telah menjadi muallaf.
 
atau baca aja dah twitternya dia di sini https://twitter.com/Tyrese

Duh, kadang gemes ya, sama orang-orang yang hobi banget nyebarin berita viral tanpa mau klarifikasi terlebih dahulu. Padahal kan hal semacam ini bisa aja menimbulkan konflik dan merugikan orang lain atau pun diri sendiri.

Okay, at last, mungkin lo udah pernah dengar ini. Pun menurut gue juga, pada dasarnya semua orang itu terlahir sebagai muslim. Hanya saja TAKDIR lingkungan tumbuh kembang masing-masing orang itu berbeda. Ada yang tumbuh di dalam keluarga atheis, Kristiani, Budhis, dan sebagainya. Tapi untuk menjadi seorang muslim itu adalah pilihan dan hak semua orang tanpa terkecuali. Siapa pun bebas memilih dan memutuskan akan menjadi apa ia. Karena faktanya tidak semua yang terlahir dan di didik secara islami dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya bisa mencerminkan bahwa dia adalah seorang muslim. Mulai dari gaya hidup, pola pikir, dan lain-lainnya. Bahkan banyak muslim yang akhirnya mangkir dan berpaling dari Islam karena mereka belum memahami apa Islam sebenarnya. 

Wallahu a’lam bishowab

Semoga kita adalah orang yang bersyukur telah dikaruniakan nikmat Iman dan Islam ini, dan semoga Allah senantiasa menguatkan kita untuk tetap bisa Istiqamah dijalan-NYA. Aaamiiin.

Ramadhan Mubarrak, Semangat memperbaiki diri.

Jumat, 19 Juni 2015

Peduli Diri Sendiri?, No Worry Lah Yau!: About Me and Cancer



Gue segera nelpon om jutek tapi selalu menjadi yang terbaik buat gue pas denger kabar dia sakit dan harus dioperasi tapi entah karena alasan apa dia nolak untuk dioperasi. Dia lebih memilih membiarkan sakitnya memburuk. Dengan gaya orang yang paham dengan dunia kedokteran (padahal gue hanya pernah bekerja di kamar operasi dan sudah pernah melihat orang dengan berbagai penyakit di operasi di depan mata), gue berhasil meyakinkan om gue itu supaya dia mau mengikuti prosedur medis yang dokter sarankan. 

“Gue nggak mau seumur hidup gue harus buang air besar melalui lubang yang dibuat di perut gue.”

“Ayolah om!, ini nggak akan separah seperti yang om khawatirkan. Aku pernah ngeliat orang dengan sakit seperti yang om alami saat ini bahkan mungkin lebih parah. Mereka memang harus menggunakan kantong diatermi, tapi kalau lukanya sudah sembuh, om bisa BAB pake anus om lagi. Percaya deh!” ucap gue penuh percaya diri.

“Tapi dokter bilang ini akan jadi permanen. Om nggak mau!” Gue berpikir sejenak. Oke gue ngerti. Siapa pun orangnya yang nggak pernah bersentuhan dengan dunia kedokteran pasti bakal berpikiran yang enggak-enggak kalau mendengar kata ‘operasi’. Bahkan perawat yang tidak pernah bekerja di kamar operasi (meskipun waktu pendidikan keperawatan mereka pernah sedikit belajar di kamar operasi), mereka akan bertanya ini-itu dan suka ngeri membayangkan pasien mereka yang akan atau telah selesai dioperasi karena berbagai penyakitnya. Jadi gue juga nggak akan nyalahin om gue yang sudah parno duluan karena diagnosis dokter yang menyatakan bahwa dia menderita kanker anal. Apalagi anus adalah salah satu organ vital manusia, maksud gue, hampir setiap hari makhluk hidup normal harus buang air besar melalui anus, dan sudah beberapa bulan terakhir om gue menderita karena setiap BAB pasti berdarah.

“Ckk!, nggak gitu om. Sakit kanker atau tumor, kalau semakin lama didiemin maka dia akan semakin parah. Emang om mau nanti anusnya membusuk?. Gimana hasil pemeriksaannya?”

“Dokter bilang kankernya sudah membentuk lingkaran, jadi bakal ditutup permanen.” Ucapnya prustasi, ada nada ngeri dari setiap kata yang keluar dari mulutnya di sebrang sana.

“Ayolah, om tenang. Ikuti dulu prosedur yang dokter sarankan. Proses ini-itunya om jalanin aja sampai hasil labnya keluar, nggak usah panik, nggak usah setress, pokoknya nggak usah dipikirin, pasti ada jalan kok. Kita tunggu hasil medis nanti. Pokoknya jangan main supranatural-supranaturalan. Ini penyakit medis, bukan penyakit dukun.” Ancam gue

“Kalau misalkan dokter bilang masih bisa dioperasi tapi nggak harus ditutup permanen alhamdulillah, tapi kalau misalkan dokter bilang harus ditutup permanen kita nego supaya dikemo atau disinar aja. Sementara ini Kita lakukan pencegahan supaya penyakitnya nggak memburuk.”

“Om mendingan dikemo aja dari pada dioperasi.” ucapnya pelan.

“iya, kita tunggu gimana hasilnya nanti ya.”

“Kalau bisa gue cegah pake makanan mending gue cegah. Apa yang harus gue hindari dan apa yang harus gue konsumsi.”

Biji anggur kaya akan anti oksidan, dia paling bagus sebagai anti kanker, sirsak juga, terus mengkudu juga, masih banyak lagi buah yang kaya anti oksidan. Nanti aku beliin aja herbalnya.” 

Diskusi pun berlanjut dengan apakah biji anggur harus dikunyah atau ditelan?, kemudian kemungkinan lebih manjur mana makan mengkudu langsung atau meminum kapsulnya? dan permintaannya untuk mencarikan informasi tentang makanan yang baik untuk mengobati penyakitnya di internet yang dari awal memang sudah sangat ingin gue lakukan.

“Ok om, nanti aku kabarin lagi, tapi inget, jangan setress, ok?, Assalamu’alaikum.”

“Iya, Wa’alaikumussalam.”

Yah seenggaknya itu sepintas percakapan gue dengan my beloved uncle. Gue ngerti, sengeyel-ngeyelnya om gue itu, dia akan nurut sama gue kalau soal yang beginian, berbekal pengalaman gue di rumah sakit dua tahun lalu tentunya.

Kurang lebih dua tahun gue bekerja sebagai Administrasi Apotik di dalam kamar operasi. Jobdesk gue sebenarnya mengurusi administrasi pasien swasta, askes, jamsostek, SKTM, dan lain-lain. Tapi itu cuma tugas pokok gue, karena selain itu gue juga turut membantu menyediakan obat-obatan yang diperlukan oleh dokter anasthesi untuk membius pasiennya, mulai dari fentanyl, morphin, atrophin sulfas, epedhrin, epinephrine, lidocain, propofol, kliran, dan obat-obatan ampul lainnya. Juga perlengkapan dokter dan perawat bedah mulai dari handscoen steril, set betadin, alkohol, urine bag, kassa steril, jarum & benang jahit, folley catheter, dan lainnya adalah sahabat gue sehari-hari. Dan sumpah gue mencintai tugas sampingan gue ini. Gue mencintai dunia kesehatan karena dulu cita-cita kecil gue adalah menjadi Dokter, itu sebabnya gue sangat bersyukur bisa atau sempat bekerja di Rumah Sakit meskipun bukan sebagai dokter.

Gue pernah ngeliat kaki orang lagi dibor pake alat yang gede-gede, bunyinya kayak orang lagi ngebor besi atau kayu, kemudian dipasangi sekrup dan besi. Gue pernah ngeliat orang lagi di seksio (Sesar), juga pasien di curret  dan dikeluarkan janin yang tidak berkembang dari dalam rahimnya secara langsung, ngeliat anak disunat juga udah biasa. 

Keadaan seringkali membuat gue dan tim harus bolak-balik nganterin obat ke kamar operasi karena pasien kritis, sementara perawat dan dokter sibuk dengan pasiennya yang sedang berjuang antara hidup dan mati di meja kamar operasi. Seringkali juga kami membantu perawat menuangkan formalin ke dalam kantong plastik yang berisi organ tubuh manusia yang karena sakitnya seperti kanker ganas, kecelakaan, dan lain-lain sehingga harus diangkat (dioperasi), seperti payudara yang besarnya lebih besar dari bola sepak. Biasanya jaringan ini sudah tidak berbentuk lagi sehingga hanya terlihat merah darah dan lendir saja.
Atau terkadang gue menjumpai perawat yang bertugas di OK I (Oka satu-red) yang khusus menangani pasien bedah saraf, sedang mencuci batok kepala pasiennya yang pecah dan harus disimpan untuk kemudian dipasang lagi jika keadaan pasien membaik, atau dilenyapkan jika pasien akhirnya menghadap ilahi. Dan masih banyak hal yang gue dapatkan selama bekerja di sana. Pengalaman-pengalaman menakjubkan yang masih bisa gue kenang.

Gue dan TIM kalau sedang beruntung minimal sehari sekali harus menyediakan obat anasthesi dan juga perlengkapan bedah khusus untuk pasien OK VIII. OK ini biasanya merupakan OK khusus yang digunakan untuk operasi penyakit berat seperti jantung, ginjal, dll. Bisa hampir seharian buat nyiapin persiapan operasi pasien OK VIII ini, waktu itu malah pernah marathon, sehari lebih dari satu pasien. Dan selama dua tahun bekerja di sana hanya sekali gue menyiapkan set operasi untuk pasien yang operasi transplantasi ginjal. 

Kita paling ngeri setiap harus melayani pasien pengidap HIV, jangan ditanya seberapa rempongnya persiapan untuk pembedahan pasien pengidap HIV ini, rempong binggo man!. Kita harus menyiapkan perlengkapan khusus untuk digunakan sebagai alas pasien di meja operasi, baju dokter dan perawat, pokoknya perlengkapan operasi untuk pasien HIV harus extra savety than other operation, maklum, namanya juga HIV, nggak tahu kan apesnya orang itu kapan?, kalau tiba-tiba ketularan gimana?, hiiii… Na’udzubillah dah.

Oke udah ngalor-ngidulnya. Back to cancer. Gue kenal kanker ini sejak gue mengikuti PMR Wira di sekolah. Seenggaknya gue dapet sedikit bekel tentang kesehatan, sehingga ketika April 2012 gue menyadari ada benjolan di salah satu organ tubuh gue, gue segera kosultasi ke bos gue di farmasi dan meminta ijin untuk periksa ke dokter. Benar saja, setelah di USG gue positif terkena ca mamae sinistra, bahasa manusianya tumor jinak di dada sebelah kiri. 

Dari yang gue pahami, ada beberapa jenis kanker ini, ada yang berbentuk padat dan cair. Allah ngasih gue jatah yang padat. Katanya yang padat ini masih mending, bisa dioperasi benjolannya itu, sementara yang cair, kalau benjolan dalam jumlah banyak dan memenuhi seluruh bagian organ tubuhnya, maka akan sulit menyembuhkannya. Dokter pun memberikan surat untuk tes ini dan itu sebelum operasi berlangsung. Mulai dari tes darah sampai photo thorax. 

Mama Ye (bos gue di faramasi) adalah salah satu orang yang syok dan selalu berusaha menyemangati, menghibur dan menguatkan gue untuk mau dioperasi dan melarang gue untuk ke dukun (padahal gue sama sekali nggak ada kepikiran buat ke dukun). Mama Ye ini the best bos ever lah. Dia juga pernah diangkat rahimnya karena sakit mium. Teman-teman di apotik kamar operasi juga mendukung keputusan gue untuk dioperasi. Padahal tanpa mereka paksa pun gue akan dengan senang hati dioperasi ketimbang kelak, suatu saat harus mengangkat organ tubuh gue yang semakin parah karena kemalasan atau ketakutan gue untuk operasi. Gue tetap stay cool karena gue sudah sering melihat pasien dengan diagnosis yang sama atau bahkan lebih parah dari gue, dan gue tahu, operasi itu tidak semengerikan seperti apa yang orang awam pikirkan, operasi itu salah satu ikhtiar, salah satu solusi untuk menghadapi suatu penyakit aneh jaman sekarang. Jadi gue sama sekali nggak takut. 

Gue inget, hari jum’at seharusnya gue dirawat inap pra operasi, tapi gue malah mengikuti Mubes IKBM di puncak, sehingga gue merepotkan ipane-pane (temen di OK) untuk mengurus segala persiapan operasi. Dan sepulang gue dari Mubes gue harus menghadapi keganasan perawat ruangan di mana seharusnya gue bermalam, karena gue sudah melalaikan kewajiban seorang pasien untuk dirawat. Gue pun harus merepotkan mba Ciko (perawat bedah) untuk membantu mendapatkan surat ijin dari Dokter jaga di IGD (Instalasi Gawat Darurat) supaya gue diijinin masuk ruang perawatan. Gue sadar kalau kerjaan gue emang ngerepotin orang. Duh Risti….

Ketika beberapa hari kemudian gue sudah terbaring di dalam OK yang biasa gue lewatin bolak-balik, Mama Ye dan teman di dalam farmasi OK datang dan kembali menyemangati gue. Mereka masih berfikir bahwa gue takut dan tegang.

“Udah siap ya?” Tanya seorang perawat yang sudah sangat gue kenal. Gue Cuma mengangguk, membiarkannya mencari pembuluh darah, menancapkan jarum dan membuat saluran agar cairan Ringer Lactat masuk ke dalam tubuh. Perawat dan dokter yang menangani gue  terheran-heran melihat monitor yang menunjukkan detak jantung gue berdetak ‘terlalu’ normal, tidak seperti kebanyakan pasien yang akan dioperasi.

“Eh, kamu mau dioperasi kok tenang-tenang aja sih?” aku tergelak mendengar pertanyaan perawat yang lain sesaat setelah ia menempelan tiga lembar NDM di sekitar dada. 

‘Ya ampun, ini Cuma operasi kecil, jangan lebai deh dok.’ Gumam gue dalam hati.

Beberapa hari sebelum operasi nggak adasatu pun keluarga gue yang tahu bahwa gue akan dioperasi. Tapi karena gue butuh tandatangan wali, akhirnya gue menghubungi abang gue dan memintanya menandatangani surat persetujuan operasi, dia juga yang menemani gue selama beberapa hari sebelum dan sesudah operasi karena gue butuh seseorang untuk mengurus administrasi dan menebus obat di apotik. Dan karena gue juga butuh do’a bonyok, akhirnya dengan terpaksa gue menghubungi dan mengabarkan kepada mereka bahwa besok gue akan dioperasi. Gue melarang keras mereka yang waktu itu maksa untuk nyusulin gue ke Jakarta. Gue meyakinkan mereka bahwa ini hanya operasi kecil dan gue akan baik-baik saja.

Sebelum obat bius dokter bekerja, banyak perawat anasthesi dan bedah yang nggak nyangka bahwa gue adalah pasien mereka hari itu, karena jadwal pasien memang dipasang ketika sudah sore, dan qadarullah nama dan status gue yang dipasang di jadwal operasi ada yang salah. Mereka berdatangan dan turut memberikan semangat di OK IX. Gue emang udah request supaya dokter dan perawat bedah yang menangani gue adalah cewek, tapi sialnya gue lupa me-request supaya perawat anasthesinya juga cewek. Dan gue pasrah, karena sebelum gue meminta supaya perawat ini diganti gue sudah tidak sadarkan diri. Gue sadar beberapa saat di recovery room untuk kemudian tidak sadarkan diri lagi akibat pengaruh bius totalnya belum benar-benar hilang.

Oh begini rasanya nge-fly’. Gue memang dibius total menggunakan salah satu jenis narkotika. Entah berapa lama gue tidur, dan ketika gue bangun gue udah di ruangan bercat putih bertirai hijau. Gue sudah kembali di ruang rawat inap. Di sana sudah ada dua om tengil dan abang gue.

“Gue pikir lo mati Ris, nggak bangun-bangun” Gue nggak sempet menanggapi gurauannya, yang faktanya juga tersirat nada kekhawatiran di sana. Entah kapan mereka pamit, karena setahu gue, gue sudah kembali tertidur karena mata gue masih berat dimelekin.

Coass cewek yang visit menanyakan keadaan gue yang jelas terlihat sangat baik kalau saja efek obat bius itu sudah benar-benar hilang. Dan seperti yang lain dia juga berusaha menguatkan gue dan mengatakan bahwa gue baik-baik saja. Gue hanya tersenyum ramah, mendengarkannya yang bercerita bahwa dia juga pernah dioperasi karena penyakit yang sama.

“Saya juga pernah dioperasi, sempet tumbuh lagi, tapi kemudian ilang. Kemungkinannya untuk tumbuh lagi sangat mungkin terjadi, jadi lebih baik hindari saja fast food seperti burger, mie, telur, ayam, dan lain-lain.” Sarannya. Gue nggak kaget tentang kemungkinan penyakit itu tumbuh lagi, mengingat teman di OK juga ada yang pernah mengalami itu.

“Terimakasih dok.” Ucap gue sambil tersenyum. Setelah tiga hari gue pun meminta untuk pulang.

Kesalahan gue waktu itu adalah karena gue nggak ngambil hasil Pathology Anathomi dari daging tumor yang waktu itu diangkat, jadi gue nggak tahu apakah itu tumor jinak atau ganas. Makanya sampai sekarang gue belum jadi-jadi meriksain benjolan yang kembali tumbuh di sekitar bagian organ tubuh yang dulu dioperasi karena pasti bakal ditanyain hasil PA operasi yang lalu, kemudian dokter akan nyalahin gue, nyeramahin ini dan itu seperti beberapa waktu yang lalu saat gue melakukan USG di salah satu klinik swasta nomor satu di Jakarta. Gue bukannya dilayani malah diomeli. Ish….

Tapi tenang, gue udah punya rencana buat berobat pake BPJS ba’da idul fitri. Meskipun gue udah nggak kerja di rumah sakit, tapi gue masih cinta kok dengan dunia kesehatan, biarpun gue nggak pandai menjaga kesehatan. Siapa tahu aja gue bakal ketemu lagi sama dokter ganteng idaman karena penyakit yang dititipin ke gue ini, wkwkwk.

Eh, bukan itu intinya gue nulis ngalor-ngidul. Gue Cuma pingin temen-temen dan semua orang di sekitar gue itu sadar, bahwa sakit itu harus dihadapi, bukan dihindari. Jangan takut memeriksakan kesehatannya kalau memang dirasa ada sesuatu yang aneh pada diri kita. Semacam benjolan yang tidak pada tempatnya, sering kram perut, dan sebagainya. Terutama cewek, biasanya sakit semacam kanker serviks, payudara, dan lainnya ada gejalanya, tapi kebanyakan takut buat memeriksakannya. Padahal sakit kayak begini kalau didiemin bukannya sembuh lho, tapi malah semakin membuat virus di dalam tubuh kita itu menjadi sel kaker ganas. Eh tapi jangan dikira cowok enggak beresiko juga ya, cowok juga memiliki resiko terkena kanker payudara lho!, nggak percaya? Coba baca buku-buku kesehatan.

Oya, Kenapa gue bilang sakit itu adalah titipan?, karena sakit itu haknya DIA mau ngasih ke siapa. Ada orang yang udah ngejaga makanannya, diet ini-itu, rajin olah raga, tapi ternyata masih kena stroke, kanker, leukemia, dll. 

Nyokap gue contohnya. Diusianya yang sudah berkepala lima, nggak ada angin nggak ada hujan, eh, maksud gue nggak ada gejala apa-apa, tapi ternyata sudah divonis dokter terkena kanker serviks waktu berobat ke RSUD karena beberapa hari sebelumnya mengalami kram perut dan pendarahan saat menstruasi. Padahal gue tahulah kalau nyokap gue ya ngejaga makanan, selalu bangun sebelum subuh, jalan kaki ke mushola, terus kerja seharian di pasar. Boro-boro makan yang macem-macem, di kampung mana ada itu burger, nugget?. Bakso, telur, ayam potong, juga pasti jarang masak dan lebih sering masak ikan. Tapi toh buktinya nyokap gue kena serviks bahkan harus dirujuk ke rumah sakit provinsi karena dokter RSUD sudah angkat tangan. Sudah stadium berapa entah. Gue minta nyokap dioperasi pun nggak bisa karena sudah parah. Hanya bisa di kemoteraphy katanya. Ya begitulah akhirnya. Nyokap baru selesai menjalani kemo nya beberapa bulan yang lalu, dan masih menjalani berobat jalan sampai sekarang. Jadi sebulan sekali harus ke Semarang menemui dokter Edi yang baik hati.

Kita nggak perlu maki-maki dan merutuki nasib diri. Kalau kalian berpikir bahwa DIA nggak adil udah nitipin sakit ini dan itu ke kalian (baca aja kita), mungkin kita perlu mengingat kembali, bahwa sakit itu dapat menjadi penggugur dosa-dosa kita. Kita hanya perlu berharap dan berdo’a, agar disetiap sakit yang kita rasakan, maka akan gugur pula setiap dosa-demi dosa yang telah kita lakukan.

Terkadang gue merasa ke GR-an sama DIA. Gue berpikir bahwa Tuhan memang sengaja menitipkan penyakit itu khusus, spesial hanya buat gue dan orang-orang di sekitar gue. Nggak tahu pasti kenapa, tapi mungkin DIA pingin melihat bagaimana reaksi gue dan mereka nggak hanya saat kita diberi berbagai kenikmatan, tetapi juga saat kita diberi sesuatu yang mungkin awalnya menurut kita adalah hal yang menyakitkan.

Gue yakin, gue Cuma perlu bersyukur dan terus melakukan yang terbaik. Begitu pun dengan kalian. 

Be Smart, care your self and whoever around you!


Do'a Berbuka Puasa Anti Mainstream (Sesuai Sunnah)

Sob, udah tahu kan, kalau bacaan do'a berbuka puasa yang ngetrend bingit dan familiar buat kita itu ternyata belum sesuai sunnah Rasul?. Iya, bacaan yang ini nih:

"Allahumma lakasumtu wabika amantu wa'ala rizqika afthartu birahmatika ya arhmarrahimin"

Kalau menurut jumhur ulama, bacaan do'a berbuka puasa itu yang ini lho yang sesuai sunnah, kekuatan haditsnya hasan:

 

Dulu juga gue selalu membaca do'a yang mainstream itu, bahkan di sekolah dan seantro kampung gue ya do'a yang pertama itu yang diajarkan. Eh, ke sini-sini pas udah baca-baca dan dipelajari lagi, ternyata sanad hadits do'a puasa yang pertama itu lemah.

Seperti yang udah diketahui kan, hadits itu ada yang Shahih, Hasan, Dhoif. Jadi kalau ada dua hadits yang satu lemah/dhoif dan yang satu hasan, jelas hadits hasan ini lah yang harus diikuti. Terus kalau membaca hadits juga kudu diliat dulu siapa perawinya (orang yang meriwayatkan hadits). Jadi supaya kita enggak menelan mentah-mentah apa yang kita lihat, dengar, atau baca. Banyak lho, orang yang jadi saling mengkafirkan hanya karena mendengar ada hadits yang begini dan begitu, sementara dia langsung percaya tanpa mau mencari tahu siapa perawinya, bagaimana sanadnya, alhasil, sesama muslim jadi saling bermusuhan. Ah, Enggak, ilmu gue belum sampe tahap bisa menguraikan jenis-jenis hadits. Tapi kalau kata ustadz di kantor yang juga lulusan LIPIA, ada lima Imam yang meriwayatkan hadits-hadits shahih yaitu Imam Bukhori, Muslim, Ahmad, Daud, dan Imam Tirmidzi. Yang tertarik ingin memperdalam ilmu hadits mungkin bisa membeli bukunya.

Nah kemarin-kemarin karena belum tahu kan masih pake do'a mainstream tapi salah, sekarang kan udah tahu, yuk mulai baca do'a anti mainstream sesuai sunnah!. Mumpung Ramadhan, amal kebaikan sekecil apa pun di bulan suci ini, akan menjadi sebuah amal kebaikan yang bernilai besar, apalagi jika menghidupkan sunnah. 

Sudahlah, biarkan Malaikat Raqib-Atid yang mencatat, kita hanya perlu melakukan yang seharusnya kita lakukan :)



Kamis, 11 Juni 2015

Aku dan Waktu




Kau dengar itu?
Detik jam dinding terus berdetik
Saling bersahutan satu sama lain
Seirama tapi tak bersama

Mengapa begitu?
Bukankah harusnya waktu adalah satu?
Berjalan searah, berputar dari angka 12 dan kembali ke angka 12
Untuk kemudian kembali berputar dan terus berputar
Menunjukkan kepada manusia, bahwa waktu terus berjalan
Tanpa bisa menunggu
Mengingatkan kepada makhluk-NYA 
Bahwa di setiap detik waktu yang berputar
Berkuranglah kembali masa mereka di muka bumi

Lalu...
Mengapa detik waktu itu tak mau sejalan seperti seharusnya?
Mengapa mereka berbeda?
Mengapa?!
Bukankah seharusnya DIA mampu membuat mereka bersatu?
Lantas...
Samakah waktuku dengan waktumu dan mereka?
Samakah kesempatan yang DIA beri untuk tiap dari kita?
Atau justru sebaliknya?

Waktu dan Kesempatan untuk kita tak sama
Waktu dan Kesempatan kita...
Sama seperti detik waktu jam dinding yang berdetik
Seirama namun tak sejalan
Tak bersama

Aku belum siap 
Duhai Sang pemilik segala
Aku belum siap 
Duhai Sang Pengasih
Aku belum siap
Dan jika perlu akan kurapalkan 99 asma suci-MU
Agar KAU tahu, betapa tak sanggupnya aku
Menghadapi akhir waktuku

Jika harus,
Akanku bersujud , bersimpuh dihadapan-MU
dan terus memohon belas kasih-MU Rabbi
Akan kupinta
Agar aku mendapat perpanjangan waktu dari-MU
Cinta...
Belum banyak bekalku
Gundukan gunung tak sebanding dengan dosa-dosaku
Luasnya samudra dan butiran pasir juga tak kan cukup
Untuk menjelaskan, betapa hinanya aku

Cinta...
Berikan aku waktu
Berikan aku kesempatan
Beri aku kekuatan

Cinta...
Usap lembutlah jiwa-jiwa yang belum juga menyadari bahwa ternyata kami merindukan-MU
Tegurlah Kami dengan cara manis-MU
Bukakanlah pintu maaf-MU Cinta...
Untuk kami

Hamba-MU yang lalai
Hamba-MU yang belum mampu menghargai waktu

Dan sadarkan kami
Bahwa waktu, tak pernah bisa menunggu