Jumat, 19 Juni 2015

Peduli Diri Sendiri?, No Worry Lah Yau!: About Me and Cancer



Gue segera nelpon om jutek tapi selalu menjadi yang terbaik buat gue pas denger kabar dia sakit dan harus dioperasi tapi entah karena alasan apa dia nolak untuk dioperasi. Dia lebih memilih membiarkan sakitnya memburuk. Dengan gaya orang yang paham dengan dunia kedokteran (padahal gue hanya pernah bekerja di kamar operasi dan sudah pernah melihat orang dengan berbagai penyakit di operasi di depan mata), gue berhasil meyakinkan om gue itu supaya dia mau mengikuti prosedur medis yang dokter sarankan. 

“Gue nggak mau seumur hidup gue harus buang air besar melalui lubang yang dibuat di perut gue.”

“Ayolah om!, ini nggak akan separah seperti yang om khawatirkan. Aku pernah ngeliat orang dengan sakit seperti yang om alami saat ini bahkan mungkin lebih parah. Mereka memang harus menggunakan kantong diatermi, tapi kalau lukanya sudah sembuh, om bisa BAB pake anus om lagi. Percaya deh!” ucap gue penuh percaya diri.

“Tapi dokter bilang ini akan jadi permanen. Om nggak mau!” Gue berpikir sejenak. Oke gue ngerti. Siapa pun orangnya yang nggak pernah bersentuhan dengan dunia kedokteran pasti bakal berpikiran yang enggak-enggak kalau mendengar kata ‘operasi’. Bahkan perawat yang tidak pernah bekerja di kamar operasi (meskipun waktu pendidikan keperawatan mereka pernah sedikit belajar di kamar operasi), mereka akan bertanya ini-itu dan suka ngeri membayangkan pasien mereka yang akan atau telah selesai dioperasi karena berbagai penyakitnya. Jadi gue juga nggak akan nyalahin om gue yang sudah parno duluan karena diagnosis dokter yang menyatakan bahwa dia menderita kanker anal. Apalagi anus adalah salah satu organ vital manusia, maksud gue, hampir setiap hari makhluk hidup normal harus buang air besar melalui anus, dan sudah beberapa bulan terakhir om gue menderita karena setiap BAB pasti berdarah.

“Ckk!, nggak gitu om. Sakit kanker atau tumor, kalau semakin lama didiemin maka dia akan semakin parah. Emang om mau nanti anusnya membusuk?. Gimana hasil pemeriksaannya?”

“Dokter bilang kankernya sudah membentuk lingkaran, jadi bakal ditutup permanen.” Ucapnya prustasi, ada nada ngeri dari setiap kata yang keluar dari mulutnya di sebrang sana.

“Ayolah, om tenang. Ikuti dulu prosedur yang dokter sarankan. Proses ini-itunya om jalanin aja sampai hasil labnya keluar, nggak usah panik, nggak usah setress, pokoknya nggak usah dipikirin, pasti ada jalan kok. Kita tunggu hasil medis nanti. Pokoknya jangan main supranatural-supranaturalan. Ini penyakit medis, bukan penyakit dukun.” Ancam gue

“Kalau misalkan dokter bilang masih bisa dioperasi tapi nggak harus ditutup permanen alhamdulillah, tapi kalau misalkan dokter bilang harus ditutup permanen kita nego supaya dikemo atau disinar aja. Sementara ini Kita lakukan pencegahan supaya penyakitnya nggak memburuk.”

“Om mendingan dikemo aja dari pada dioperasi.” ucapnya pelan.

“iya, kita tunggu gimana hasilnya nanti ya.”

“Kalau bisa gue cegah pake makanan mending gue cegah. Apa yang harus gue hindari dan apa yang harus gue konsumsi.”

Biji anggur kaya akan anti oksidan, dia paling bagus sebagai anti kanker, sirsak juga, terus mengkudu juga, masih banyak lagi buah yang kaya anti oksidan. Nanti aku beliin aja herbalnya.” 

Diskusi pun berlanjut dengan apakah biji anggur harus dikunyah atau ditelan?, kemudian kemungkinan lebih manjur mana makan mengkudu langsung atau meminum kapsulnya? dan permintaannya untuk mencarikan informasi tentang makanan yang baik untuk mengobati penyakitnya di internet yang dari awal memang sudah sangat ingin gue lakukan.

“Ok om, nanti aku kabarin lagi, tapi inget, jangan setress, ok?, Assalamu’alaikum.”

“Iya, Wa’alaikumussalam.”

Yah seenggaknya itu sepintas percakapan gue dengan my beloved uncle. Gue ngerti, sengeyel-ngeyelnya om gue itu, dia akan nurut sama gue kalau soal yang beginian, berbekal pengalaman gue di rumah sakit dua tahun lalu tentunya.

Kurang lebih dua tahun gue bekerja sebagai Administrasi Apotik di dalam kamar operasi. Jobdesk gue sebenarnya mengurusi administrasi pasien swasta, askes, jamsostek, SKTM, dan lain-lain. Tapi itu cuma tugas pokok gue, karena selain itu gue juga turut membantu menyediakan obat-obatan yang diperlukan oleh dokter anasthesi untuk membius pasiennya, mulai dari fentanyl, morphin, atrophin sulfas, epedhrin, epinephrine, lidocain, propofol, kliran, dan obat-obatan ampul lainnya. Juga perlengkapan dokter dan perawat bedah mulai dari handscoen steril, set betadin, alkohol, urine bag, kassa steril, jarum & benang jahit, folley catheter, dan lainnya adalah sahabat gue sehari-hari. Dan sumpah gue mencintai tugas sampingan gue ini. Gue mencintai dunia kesehatan karena dulu cita-cita kecil gue adalah menjadi Dokter, itu sebabnya gue sangat bersyukur bisa atau sempat bekerja di Rumah Sakit meskipun bukan sebagai dokter.

Gue pernah ngeliat kaki orang lagi dibor pake alat yang gede-gede, bunyinya kayak orang lagi ngebor besi atau kayu, kemudian dipasangi sekrup dan besi. Gue pernah ngeliat orang lagi di seksio (Sesar), juga pasien di curret  dan dikeluarkan janin yang tidak berkembang dari dalam rahimnya secara langsung, ngeliat anak disunat juga udah biasa. 

Keadaan seringkali membuat gue dan tim harus bolak-balik nganterin obat ke kamar operasi karena pasien kritis, sementara perawat dan dokter sibuk dengan pasiennya yang sedang berjuang antara hidup dan mati di meja kamar operasi. Seringkali juga kami membantu perawat menuangkan formalin ke dalam kantong plastik yang berisi organ tubuh manusia yang karena sakitnya seperti kanker ganas, kecelakaan, dan lain-lain sehingga harus diangkat (dioperasi), seperti payudara yang besarnya lebih besar dari bola sepak. Biasanya jaringan ini sudah tidak berbentuk lagi sehingga hanya terlihat merah darah dan lendir saja.
Atau terkadang gue menjumpai perawat yang bertugas di OK I (Oka satu-red) yang khusus menangani pasien bedah saraf, sedang mencuci batok kepala pasiennya yang pecah dan harus disimpan untuk kemudian dipasang lagi jika keadaan pasien membaik, atau dilenyapkan jika pasien akhirnya menghadap ilahi. Dan masih banyak hal yang gue dapatkan selama bekerja di sana. Pengalaman-pengalaman menakjubkan yang masih bisa gue kenang.

Gue dan TIM kalau sedang beruntung minimal sehari sekali harus menyediakan obat anasthesi dan juga perlengkapan bedah khusus untuk pasien OK VIII. OK ini biasanya merupakan OK khusus yang digunakan untuk operasi penyakit berat seperti jantung, ginjal, dll. Bisa hampir seharian buat nyiapin persiapan operasi pasien OK VIII ini, waktu itu malah pernah marathon, sehari lebih dari satu pasien. Dan selama dua tahun bekerja di sana hanya sekali gue menyiapkan set operasi untuk pasien yang operasi transplantasi ginjal. 

Kita paling ngeri setiap harus melayani pasien pengidap HIV, jangan ditanya seberapa rempongnya persiapan untuk pembedahan pasien pengidap HIV ini, rempong binggo man!. Kita harus menyiapkan perlengkapan khusus untuk digunakan sebagai alas pasien di meja operasi, baju dokter dan perawat, pokoknya perlengkapan operasi untuk pasien HIV harus extra savety than other operation, maklum, namanya juga HIV, nggak tahu kan apesnya orang itu kapan?, kalau tiba-tiba ketularan gimana?, hiiii… Na’udzubillah dah.

Oke udah ngalor-ngidulnya. Back to cancer. Gue kenal kanker ini sejak gue mengikuti PMR Wira di sekolah. Seenggaknya gue dapet sedikit bekel tentang kesehatan, sehingga ketika April 2012 gue menyadari ada benjolan di salah satu organ tubuh gue, gue segera kosultasi ke bos gue di farmasi dan meminta ijin untuk periksa ke dokter. Benar saja, setelah di USG gue positif terkena ca mamae sinistra, bahasa manusianya tumor jinak di dada sebelah kiri. 

Dari yang gue pahami, ada beberapa jenis kanker ini, ada yang berbentuk padat dan cair. Allah ngasih gue jatah yang padat. Katanya yang padat ini masih mending, bisa dioperasi benjolannya itu, sementara yang cair, kalau benjolan dalam jumlah banyak dan memenuhi seluruh bagian organ tubuhnya, maka akan sulit menyembuhkannya. Dokter pun memberikan surat untuk tes ini dan itu sebelum operasi berlangsung. Mulai dari tes darah sampai photo thorax. 

Mama Ye (bos gue di faramasi) adalah salah satu orang yang syok dan selalu berusaha menyemangati, menghibur dan menguatkan gue untuk mau dioperasi dan melarang gue untuk ke dukun (padahal gue sama sekali nggak ada kepikiran buat ke dukun). Mama Ye ini the best bos ever lah. Dia juga pernah diangkat rahimnya karena sakit mium. Teman-teman di apotik kamar operasi juga mendukung keputusan gue untuk dioperasi. Padahal tanpa mereka paksa pun gue akan dengan senang hati dioperasi ketimbang kelak, suatu saat harus mengangkat organ tubuh gue yang semakin parah karena kemalasan atau ketakutan gue untuk operasi. Gue tetap stay cool karena gue sudah sering melihat pasien dengan diagnosis yang sama atau bahkan lebih parah dari gue, dan gue tahu, operasi itu tidak semengerikan seperti apa yang orang awam pikirkan, operasi itu salah satu ikhtiar, salah satu solusi untuk menghadapi suatu penyakit aneh jaman sekarang. Jadi gue sama sekali nggak takut. 

Gue inget, hari jum’at seharusnya gue dirawat inap pra operasi, tapi gue malah mengikuti Mubes IKBM di puncak, sehingga gue merepotkan ipane-pane (temen di OK) untuk mengurus segala persiapan operasi. Dan sepulang gue dari Mubes gue harus menghadapi keganasan perawat ruangan di mana seharusnya gue bermalam, karena gue sudah melalaikan kewajiban seorang pasien untuk dirawat. Gue pun harus merepotkan mba Ciko (perawat bedah) untuk membantu mendapatkan surat ijin dari Dokter jaga di IGD (Instalasi Gawat Darurat) supaya gue diijinin masuk ruang perawatan. Gue sadar kalau kerjaan gue emang ngerepotin orang. Duh Risti….

Ketika beberapa hari kemudian gue sudah terbaring di dalam OK yang biasa gue lewatin bolak-balik, Mama Ye dan teman di dalam farmasi OK datang dan kembali menyemangati gue. Mereka masih berfikir bahwa gue takut dan tegang.

“Udah siap ya?” Tanya seorang perawat yang sudah sangat gue kenal. Gue Cuma mengangguk, membiarkannya mencari pembuluh darah, menancapkan jarum dan membuat saluran agar cairan Ringer Lactat masuk ke dalam tubuh. Perawat dan dokter yang menangani gue  terheran-heran melihat monitor yang menunjukkan detak jantung gue berdetak ‘terlalu’ normal, tidak seperti kebanyakan pasien yang akan dioperasi.

“Eh, kamu mau dioperasi kok tenang-tenang aja sih?” aku tergelak mendengar pertanyaan perawat yang lain sesaat setelah ia menempelan tiga lembar NDM di sekitar dada. 

‘Ya ampun, ini Cuma operasi kecil, jangan lebai deh dok.’ Gumam gue dalam hati.

Beberapa hari sebelum operasi nggak adasatu pun keluarga gue yang tahu bahwa gue akan dioperasi. Tapi karena gue butuh tandatangan wali, akhirnya gue menghubungi abang gue dan memintanya menandatangani surat persetujuan operasi, dia juga yang menemani gue selama beberapa hari sebelum dan sesudah operasi karena gue butuh seseorang untuk mengurus administrasi dan menebus obat di apotik. Dan karena gue juga butuh do’a bonyok, akhirnya dengan terpaksa gue menghubungi dan mengabarkan kepada mereka bahwa besok gue akan dioperasi. Gue melarang keras mereka yang waktu itu maksa untuk nyusulin gue ke Jakarta. Gue meyakinkan mereka bahwa ini hanya operasi kecil dan gue akan baik-baik saja.

Sebelum obat bius dokter bekerja, banyak perawat anasthesi dan bedah yang nggak nyangka bahwa gue adalah pasien mereka hari itu, karena jadwal pasien memang dipasang ketika sudah sore, dan qadarullah nama dan status gue yang dipasang di jadwal operasi ada yang salah. Mereka berdatangan dan turut memberikan semangat di OK IX. Gue emang udah request supaya dokter dan perawat bedah yang menangani gue adalah cewek, tapi sialnya gue lupa me-request supaya perawat anasthesinya juga cewek. Dan gue pasrah, karena sebelum gue meminta supaya perawat ini diganti gue sudah tidak sadarkan diri. Gue sadar beberapa saat di recovery room untuk kemudian tidak sadarkan diri lagi akibat pengaruh bius totalnya belum benar-benar hilang.

Oh begini rasanya nge-fly’. Gue memang dibius total menggunakan salah satu jenis narkotika. Entah berapa lama gue tidur, dan ketika gue bangun gue udah di ruangan bercat putih bertirai hijau. Gue sudah kembali di ruang rawat inap. Di sana sudah ada dua om tengil dan abang gue.

“Gue pikir lo mati Ris, nggak bangun-bangun” Gue nggak sempet menanggapi gurauannya, yang faktanya juga tersirat nada kekhawatiran di sana. Entah kapan mereka pamit, karena setahu gue, gue sudah kembali tertidur karena mata gue masih berat dimelekin.

Coass cewek yang visit menanyakan keadaan gue yang jelas terlihat sangat baik kalau saja efek obat bius itu sudah benar-benar hilang. Dan seperti yang lain dia juga berusaha menguatkan gue dan mengatakan bahwa gue baik-baik saja. Gue hanya tersenyum ramah, mendengarkannya yang bercerita bahwa dia juga pernah dioperasi karena penyakit yang sama.

“Saya juga pernah dioperasi, sempet tumbuh lagi, tapi kemudian ilang. Kemungkinannya untuk tumbuh lagi sangat mungkin terjadi, jadi lebih baik hindari saja fast food seperti burger, mie, telur, ayam, dan lain-lain.” Sarannya. Gue nggak kaget tentang kemungkinan penyakit itu tumbuh lagi, mengingat teman di OK juga ada yang pernah mengalami itu.

“Terimakasih dok.” Ucap gue sambil tersenyum. Setelah tiga hari gue pun meminta untuk pulang.

Kesalahan gue waktu itu adalah karena gue nggak ngambil hasil Pathology Anathomi dari daging tumor yang waktu itu diangkat, jadi gue nggak tahu apakah itu tumor jinak atau ganas. Makanya sampai sekarang gue belum jadi-jadi meriksain benjolan yang kembali tumbuh di sekitar bagian organ tubuh yang dulu dioperasi karena pasti bakal ditanyain hasil PA operasi yang lalu, kemudian dokter akan nyalahin gue, nyeramahin ini dan itu seperti beberapa waktu yang lalu saat gue melakukan USG di salah satu klinik swasta nomor satu di Jakarta. Gue bukannya dilayani malah diomeli. Ish….

Tapi tenang, gue udah punya rencana buat berobat pake BPJS ba’da idul fitri. Meskipun gue udah nggak kerja di rumah sakit, tapi gue masih cinta kok dengan dunia kesehatan, biarpun gue nggak pandai menjaga kesehatan. Siapa tahu aja gue bakal ketemu lagi sama dokter ganteng idaman karena penyakit yang dititipin ke gue ini, wkwkwk.

Eh, bukan itu intinya gue nulis ngalor-ngidul. Gue Cuma pingin temen-temen dan semua orang di sekitar gue itu sadar, bahwa sakit itu harus dihadapi, bukan dihindari. Jangan takut memeriksakan kesehatannya kalau memang dirasa ada sesuatu yang aneh pada diri kita. Semacam benjolan yang tidak pada tempatnya, sering kram perut, dan sebagainya. Terutama cewek, biasanya sakit semacam kanker serviks, payudara, dan lainnya ada gejalanya, tapi kebanyakan takut buat memeriksakannya. Padahal sakit kayak begini kalau didiemin bukannya sembuh lho, tapi malah semakin membuat virus di dalam tubuh kita itu menjadi sel kaker ganas. Eh tapi jangan dikira cowok enggak beresiko juga ya, cowok juga memiliki resiko terkena kanker payudara lho!, nggak percaya? Coba baca buku-buku kesehatan.

Oya, Kenapa gue bilang sakit itu adalah titipan?, karena sakit itu haknya DIA mau ngasih ke siapa. Ada orang yang udah ngejaga makanannya, diet ini-itu, rajin olah raga, tapi ternyata masih kena stroke, kanker, leukemia, dll. 

Nyokap gue contohnya. Diusianya yang sudah berkepala lima, nggak ada angin nggak ada hujan, eh, maksud gue nggak ada gejala apa-apa, tapi ternyata sudah divonis dokter terkena kanker serviks waktu berobat ke RSUD karena beberapa hari sebelumnya mengalami kram perut dan pendarahan saat menstruasi. Padahal gue tahulah kalau nyokap gue ya ngejaga makanan, selalu bangun sebelum subuh, jalan kaki ke mushola, terus kerja seharian di pasar. Boro-boro makan yang macem-macem, di kampung mana ada itu burger, nugget?. Bakso, telur, ayam potong, juga pasti jarang masak dan lebih sering masak ikan. Tapi toh buktinya nyokap gue kena serviks bahkan harus dirujuk ke rumah sakit provinsi karena dokter RSUD sudah angkat tangan. Sudah stadium berapa entah. Gue minta nyokap dioperasi pun nggak bisa karena sudah parah. Hanya bisa di kemoteraphy katanya. Ya begitulah akhirnya. Nyokap baru selesai menjalani kemo nya beberapa bulan yang lalu, dan masih menjalani berobat jalan sampai sekarang. Jadi sebulan sekali harus ke Semarang menemui dokter Edi yang baik hati.

Kita nggak perlu maki-maki dan merutuki nasib diri. Kalau kalian berpikir bahwa DIA nggak adil udah nitipin sakit ini dan itu ke kalian (baca aja kita), mungkin kita perlu mengingat kembali, bahwa sakit itu dapat menjadi penggugur dosa-dosa kita. Kita hanya perlu berharap dan berdo’a, agar disetiap sakit yang kita rasakan, maka akan gugur pula setiap dosa-demi dosa yang telah kita lakukan.

Terkadang gue merasa ke GR-an sama DIA. Gue berpikir bahwa Tuhan memang sengaja menitipkan penyakit itu khusus, spesial hanya buat gue dan orang-orang di sekitar gue. Nggak tahu pasti kenapa, tapi mungkin DIA pingin melihat bagaimana reaksi gue dan mereka nggak hanya saat kita diberi berbagai kenikmatan, tetapi juga saat kita diberi sesuatu yang mungkin awalnya menurut kita adalah hal yang menyakitkan.

Gue yakin, gue Cuma perlu bersyukur dan terus melakukan yang terbaik. Begitu pun dengan kalian. 

Be Smart, care your self and whoever around you!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar