Senin, 14 Desember 2015

Masihkah Kita Merasa?

Suatu ketika gue membaca broadcast-an tentang HTI yang menjelekkan Erdogan, lalu kemudian fans Erdogan pun bereaksi dan memberikan tanggapan, entah berupa komentar sederhana, sampai tulisan tandingan lainnya.

Gue pun bertanya-tanya, kenapa HTI begitu?, toh dunia juga melihat, bahwa Erdogan banyak melakukan hal-hal positif. Tak lama, berita itu berlalu.

Kemudian di lain waktu gue membaca tentang kenyinyiran golongan tertentu terhadap apapun yang dilakukan oleh FPI, hanya karena FPI sering frontal terhadap kemaksiatan, berani turun lapangan dan melakukan razia di berbagai macam tempat maksiat, nahi munkar melalui tangan-tangan mereka.

Oh please, gue jelas nggak akan pernah mendukung bagian anarkis mereka, tapi harus gue akui bahwa FPI jelas jauh lebih baik dari gue, dan gue nggak punya alasan buat nyinyirin mereka. Toh selama ini, dari berita yang gue dapet, FPI juga sering turun ke lapangan ketika terjadi bencana di berbagai tempat (meskipun aksi mereka minim pemberitaan). Yang pasti, jelas mereka lebih baik kemana-mana dibanding orang yang suka nyinyirin mereka.

Terakhir gue baca lagi artikel di medsos soal "Pepesan Kosong Pilkada."

Yang beginian juga pasti heboh, dan memunculkan berbagai macam reaksi publik. Artikel tandingan pun banyak berkeliaran. Orang-orang berlomba men-share, broadcast, copa terkait isu ini ke medsos yang mereka miliki. Masing-masing kubu merasa dirinya paling benar dan berjusng keras bmempertahankan argumentasi mereka. Antara yang pro dengan yang kontra dengan demokrasi.

Sampai di sini, gue merasa sedih.

Kenapa?

Karena mereka yang bertikai ini, kebanyakan adalah saudara-saudara seiman gue juga.

Agama di KTP nya gue yakin masih Islam. Shalat wajibnya masih sama, lima waktu. Arah kiblatnya juga masih sama, Ka'bah. Syahadatnya nggak beda, sama persis, antara satu golongan dengan golongan yang lain. Rukun Iman dan Islamnya juga sama lho ya. Pokoknya aqidahnya masih sama.

Tapi, mereka yang katanya sama-sama mau memperjuangkan agama Allah (Islam), malah saling serang dan menganggap golongan sendiri paling benar.
*Perjuangan macam apa itu? 😢

Buat apa sih debat?. Memang ada untungnya saling debat kusir?, bukannya hal ini justru menimbulkan perpecahan?

Disaat musuh saling bersatu padu, eh umat muslim saling bertikai. *nggak boleh capek.

Begitulah...

Kalau bukan karena gue pernah baca, bahwa kelak Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, mungkin juga gue akan bertanya-tanya, kenapa mereka nggak bersatu aja sih?, tapi ya inilah bagian dari sunnatullah yang harus umat muslim hadapi.

Gue termenung, ketika membaca komentar seseorang di dalam sebuah grup WA, saat ada beberapa orang saling sahut-menyahut, menanggapi tentang artikel Pepesan Kosong Pilkada.

"Tidak ada kejayaan dan kebesaran pada umat yg bertikai. Wa' tashimuu bihabblillahi jami'a wala tafarroquu..."

Nggak akan pernah berjaya, nggak akan pernah besar kalau masih bertikai. Jangan pernah muluk-muluk ngarepin Islam berjaya seperti di jaman Muhammad Al Fatih, apalagi ngarep Islam bakalan seperti di masa kepemimpinan Muhammad bin Abdullah.

Nggak boleh ngarep kalau masih pada saling menghujat, menganggap diri paling benar, dan masih saling menebar kebencian.

Karena dulu, Rasulullah mensyiarkan Islam dengan cara yang ahsan.

Wallahua'lam bishawab.

Gue jadi inget, ketika dulu pertama Hijrah banyak yang nanya, "kamu ini aliran apa?", atau tiba-tiba ada supir taksi yang bertanya, "Mba PKS ya?.", ada juga yang ragu-ragu bertanya begini, "Risti maaf mau nanya, kamu HTI bukan?", dan masih banyak lagi pertanyaan yang sejenis yang mampir di kuping gue.

Kalau sudah begitu, gue cuma tersenyum sambil bilang,

"Saya Islam."

Semoga masing-masing dari kita mau belajar memperbaiki diri, dan belajar untuk menjadi agen muslim yang baik.

Ristiati Izzumi Hirata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar