Jumat, 24 April 2015

My First Climbing at Mt.Gede

Kalau ditanya pendakian mana yang paling berkesan buat gue, dengan yakin gue akan jawab bahwa itu adalah Gunung Gede. Ya meskipun belum banyak puncak yang berhasil gue gapai sih.

Kenapa?

Karena Gue punya cerita-cerita seru disana. Gn Gede adalah gunung pertama yang gue daki, November 2012 silam, bareng temen-temen Expedisi Pendidikan 25 Th kampus gue, yang mana temen-temen gue itu, mereka juga baru pertama naik gunung, keren gak tuh?. Jadi lima dari enam orang yang mendaki saat itu adalah para newbie, empat laki-laki dan dua perempuan.

Waktu itu, kita gak punya apa-apa buat muncak, hanya baju, kaos kaki, sarung tangan dan tas ransel buluk, jas hujan yang hanya berupa plastik lebar yang kita potong, hasil belanja di pasar cipanas sehari sebelum berangkat. Boro-boro sleeping bag, sarung aja kagak punya. Matras cuma beberapa biji, dan tenda juga carrier adalah hasil pak Ojan (guru MI Al-Ikhlas Kampung Gunung Putri, Cipanas, Bogor, yang juga sekaligus sebagai tour guide kami dalam pendakian) minjem ke temennya. Pak Ojan ini katanya juga anak dari sang guru kunci di sana.

Setelah mempersiapkan sesuatu yang bisa disiapkan untuk dibawa ke atas, berangkatlah kami ba'da shalat jum'at (jam satu atau setengah dua-an). Kita berangkat lewat gang rumah penduduk, jalur yang berbeda dengan pendaki lain. Ada sih, beberapa kelompok yang lewat sana juga, tapi gue masih belum ngerti apa bedanya jalur belakang dengan jalur depan yang banyak dilewati pendaki.

Awalnya kanan-kiri jalan adalah perkebunan penduduk, kemudian semakin lama nanjak, perkebunan sayur pun berubah menjadi pepohonan rindang.

"Kak... aku gak kuat, aku balik aja ya..." Ana ngos-ngosan. Napasnya putus-putus

"Yah... ayo kuat pasti kuat. Kita jalan pelan-pelan aja."

Setelah dirayu dengan berbagai macam cara akhirnya Ana sepakat untuk melanjutkan perjalanan, dengan catatan jalan lima menit, istirahat sepuluh menit, kurang lebih begitu.

Perjalanan yang kata Pak Ojan bagi pemula bisa memakan waktu lebih dari delapan jam, ternyata kita bisa lebih cepat dari prediksinya, karena sekitar jam tujuh kami sudah sampai di Alun-alun Surya Kencana. Pak Ojan bilang sih kita hebat, bisa menyamai orang-orang yang biasa muncak.

*yeee ye yeeee.... horeee....

Jangan ditanya gimana excitednya gue pertama kali menginjakkan kaki di Alun-alun Surya Kencana (Surken). Gue yang baru beberapa hari sebelum muncak sempet denger soal pesona edelweis langsung heboh pas ngeliat padang edelweis. Padahal udah malam dan hanya kelihatan putih-pıtihnya aja, belum tahu wujud aslinya gimana. Gue gak peduliin wajah gue yang berasa ditampar-tampar angin malam yang dinginnya sungguh kebangetan. Alhamdulillah encok gue gak kumat di sana.

Gue pikir sesampainya di Surken berarti kita bakal segera bangun tenda dan istirahat, oh ternyata kita harus mengelilingi alun-alun ini untuk menemukan spot yang bagus buat bangun tenda. Udara yang dinginnya kagak ketulungan, ditambah baju basah akibat hujan saat perjalanan, membuat gue menggigil, begitupun yang lain.  Alhamdulillahnya pak ojan ini udah biasa naik, jadi kami gak perlu susah-susah nyari lokasi. Jalannya cukup jauh dari depan tadi, karena posisi kita mendekati jalan ke arah puncak.

Tenda baru berhasil dibangun pukul 21.00 WIB. Kami segera ganti baju dan shalat dalam tenda karena gerimis belum reda juga. Jangan dipikir gampang bangun tenda disaat seperti ini. Baju kuyup, badan menggigil, tangan gemeteran, dan juga perut keroncongan, membuat kita kesusahan. Sampe-sampe gue megang tali aja lepas mulu.

Sementara gue dan Ana ganti baju dan shalat, pak Ojan memasak air untuk menyeduh jahe dan juga memasak mie instan. Usai makan gue dan Ana bermaksud istirahat. Tapi boro-boro bisa tidur, yang ada semakin kedinginan karena kurang gerak, padahal udah pake double celana, double Rok, kaos kaki juga, tapi tetep aja.

brrrrrrr!

Gue pun cuma krusak-krusuk di dalam tenda, pingin cepet - cepet ketemu sang surya.

"Ma shaa Allah. Ya Allah....  aaaakkkkk...  bagus banget."

Tiada henti gue memuji kebesaran Allah yang telah menciptakan keindahan yang bermacam-macam. Alhamdulillah, gue bersyukur karena DIA mengijinkan gue menginjakkan kaki di puncak gunung gede, gunung yang katanya tertinggi kedua se jawa barat. Bisa ngeliat sunrise, ngeliat puncak pangrango, bisa deket dengan langit dan awan. Ah....  Speachless lah, pokoknya, Big thanks to Allah kayaknya gak pernah cukup hanya sebatas dengan kata-kata.

Bahkan ana yang kemarin tepar menjadi sangat antusias dan semangat waktu melihat keindahan alam ini.

"Terbalas sudah semua perjuangan kemarin!"

Berulangkali kami mengambil gambar dari kamera hp sampai capek, bukan bosen. Karena dekat dengan alam itu tidak akan pernah membosankan!

Pak Ojan cengar-cengir waktu bilang bahwa sumber air ternyata sedang kekeringan, dan hanya mengalir kecil. Padahal sebelumnya beliau dengan yakin mengatakan bahwa ada air yang membentuk kolam yang bisa digunakan untuk mandi. Benarlah, pas gue ngeliat memang ada air dalam kolam yang warnanya kuning kecoklatan, tapi itu bukan air mengalir, melainkan air sisa genangan air hujan. Dan sumber air yang dimaksud pak ojan, kecilnya kebangetan. Kita bahkan harus mengantri untuk mengambil air. Tapi alhamdulillah masih mengalir, coba sama sekali gak ada?, bukan gak mungkin para pendaki bakal dehidrasi dan sekarat di sini.

Rencana kami akan pulang ahad pagi, karena hari senin sudah harus ngajar. Jadi kami masih punya satu malam untuk kami manfaatkan. Gue sih pingin ngeliat sunset dari puncak, jadi gue udah ngerencanain bakal ke puncak lagi sore nanti. Tapi apa daya, rencana tinggallah rencana, karena dari siang langit sedang tak bersahabat. Yang ada malah hujan... terus. Malam kedua kami tidak lebih baik dari malam pertama. Tenda bocor, rembes dalam tenda, kaos kaki yang gue angin - anginin dekat api unggun kecil depan tenda kebakar, air bersih habis, oh oh oh... gue cuma bisa istighfar dan ngelus dada. Alhamdulillah ada warga yang tengah membangun tanggul di puncak, mereka juga membuat semacam rumah-rumahan, tempat untuk mereka beristirahat. Pak ojan menghampiri mereka, dan pulang dengan singkong mentah, tanpa babibu kita langsung merebusnya. Meskipun setelah matang rasanya aneh, karena tidak dikasih garam, tapi habis juga. Hehehe.

Sementara Yusuf dan temennya berteduh di tempat istirahat warga, gue, ana, Bagus, dan pak Ojan tetap di tenda yang terpisah. Dan malam ini pun lagi-lagi gue gak bisa tidur, hanya gluntang-gluntung di dalam tenda.

Emang dasar rejeki anak sholeh ya, disaat kami sedang memasak sarapan, ada rombongan pendaki yang mau turun memberikan beberapa kaleng kornet sapi, kami pun menerima dengan sepenuh hati. Hehehe. Dan pas banget kita selesai masak, gas habis. Gapapalah gak minum air anget, yang terpenting perut keisi makanan berat buat modal turun gunung.

Baru sekitar jam sepuluhan kami turun. Gue yang sudah bertekad bakal tetep pake rok pas muncak, sangat bersyukur, karena ternyata Allah mempermudah semuanya. Bahkan tak sedikit pendaki lain yang papasan dengan rombongan kami mengacungi jempol pas ngeliat rok gue.
*Benerkan, kalau udah niat pasti Allah permudah!

Alhamdulillah alhamdulillah alhamdulillah

Alhamdulillah, hanya butuh waktu sekitar empat jam-an hingga kami sampai bawah dengan selamat. Ana juga tidak banyak berhenti karena jalanannya turunan, sehingga kami tidak sering berhenti.

Oya, sebenernya gue iri pas ketemu pecinta alam yang lagi mungutin botol bekas dll, sampah hasil ulah para perusak alam yang berkedok pecinta alam. Gue yang sepanjang perjalanan naik ngeliat sampah cuma menggerutu dan sedih dengan ulah para perusak alam, iya cuma sebatas itu. Gak berinisiatif ngelakuin sesuatu yang lebih bermanfaat dari ngedumel, gak kepikiran kayak mereka. Gue malu banget ngeliat aksi mereka, akhirnya gue,ana, dan yang lain turut mungutin sampah yang gak seberapa dibandingkan mereka. Ya setidaknya kita bisa membantu menjaga alam, bukan malah merusaknya.

Talkless do more emang selalu lebih baik ya... 

"Pak Ojan, itu apa? kenapa kita gak lewat sana?" tanya gue sambil menunjuk arah para pendaki yang berjalan ke sebuah bangunan.
"Oh... itu pos buat laporan, kalau lewat sana harus bayar."
 "oh gitu... terus bedanya apa pak?"
"ya kalau ilang mereka dicari, kalau kita engga." Jawabnya enteng
"Hah?!" Mlongo. 

Jadi perjalanan kemarin semacam uji nyali atau main lotre ya?, bisa balik alhamdulillah, kalau enggak wa syukurilah.

Sebelum Ana tepar




Penampakan puncak pangrango
Puncak

Ana & Me

Our Team


Perjalanan pulang



Tidak ada komentar:

Posting Komentar