Selasa, 28 April 2015

2nd Time at Gede Mt.

Dari dulu gue selalu berprinsip, bahwa sekali gue mendaki sebuah gunung, maka gue gak akan mengulanginya untuk yang kedua atau ketiga kali. Bukan karena gue puas dan gak suka dengan gunung itu, tapi gue harus nabung lagi buat bisa mendaki ke gunung yang lain, jadi gue pikir, semakin gue mengulang mendaki sebuah gunung, maka semakin kecil kesempatan gue buat bisa melanglang tempat lain.

Tapi April 2015 ini gue dibuat galau. Banyak open trip yang menawarkan pendakian ke beberapa gunung, diantaranya ke Ciremai, Papandayan, dan Gede. Secara pribadi gue bakal milih Ciremai, karena gue belum pernah kesana, tapi karena teman-teman muncak gue ada rencana ke sana juga, dan ada salah seorang teman pemula yang pingin ikut muncak, akhirnya pilihan gue jatuh pada gunung gede, karena menurut gue, gunung gede adalah salah satu gunung yang cocok untuk pemula.

Jum'at malam, dengan gusi yang mendadak bengkak sebelah karena paginya baru saja mengunjungi dokter gigi, gue pun berangkat bersama temen-temen kece. Gue udah sedikit parno, mengingat riwayat sakit gigi yang pernah bikin gue guling-guling di kasur, padahal waktu itu cuma kena udara dingin di kawasan puncak bogor, lha ini kalau kena udara dingin puncak gunung apa yang akan terjadi ya?. Ah sudahlah, nangis pun percuma, bismillah saja. Hingga bus dari Terminal Kp Rambutan sampai di Ciawi, kerjaan gue cuma ngelus-ngelus pipi kanan, dan berharap dia akan berdamai dengan alam.

Sesampainya di Cibodas, Bang Hen dan Bang Bay ngurus simaksi, sementara gue dan sepuluh orang yang lain melanjutkan perjalanan sampai ke Cipanas. Karena lama bang bay dan bang hen gak sampai-sampai, gue pun telpon mereka, dan ternyata... mereka sedang makan!

Hellooowwww... jam dua pagi, dan mereka malah makan!, sementara temen-temen yang lain luntang-lantung kayak orang ilang dipinggir jalan. 
Ngajak ribut tuh bedua!
*sing-singkan lengan baju

Barulah beberapa waktu kemudian mereka datang, dan kami pun segera naik mobil pick up yang sudah menanti untuk ke Kampung gunung putri. Jam empat lewat kami tiba dan beristirahat sembari menunggu adzan subuh. Gue lebih memilih menunggu di masjid yang dekat dengan rumah yang dulu gue tumpangi selama ekspedisi pendidikan di sini, dengan harapan gue bisa ketemu teh nita sebelum muncak, apa daya ternyata dia sudah ikut suaminya. *hiks.

Ada satu hal yang bikin gue bahagia pagi ini, yaitu karena ngeliat banyak pendaki shalat subuh berjama'ah. Meskipun gue gak berani ngeliat itu muka cowok-cowok, tapi gue berani jamin bahwa kadar kegantengan mereka sudah bertambah berkali-kali lipat dari sebelumnya karena basuhan air wudhu.
*jiahaha, lebay

Ba'da Shalat subuh kami pun sarapan di salah satu warung di pinggir jalan. Pilihan kami jatuh pada nasi dan soto daging. 
"Minumnya tiga teh manis dan satu teh anget tawar ya." pesen kami ke ibu nya. Ternyata yang datang adalah tiga teh anget manis dan segelas air putih tawar. Mba nina, mba wi dan nadmbe sampe cekikikan ngeliat segelas air putih di hadapan mereka.

"Baru tahu teh tawar warnanya putih mba" mba wi cekikikan

Usai sarapan kami pun bersiap-siap untuk berangkat 

***

Awal perjalanan


Mengintip yang akan kami daki
Gue sempet kaget waktu ngeliat ada seorang pendaki cowok yang tengah ditangani oleh rekan-rekannya. Kalau dilihat dari kaosnya, dia salah satu peserta open trip. Wajahnya sudah pucat dan dia sudah diberi oksigen buatan. Akhirnya kita mewanti-wanti, bahwa kalau ada yang kelelahan harus bilang, dan jangan ada yang memaksakan diri.

"Bang, ini jalur berubah yak?, kayaknya diputer jauh deh dari yang dulu." Sudah lebih dari enam jam tapi kita belum juga sampai.

"Iya bu kos" jawab bang bay singkat

Alhamdulillah, meskipun terbilang lambat, tapi kami sampai juga di Alun-alun surya kencana Timur pukul  14.00 WIB (kurang lebih delapan jam perjalanan, karena kami berangkat sekitar pukul 06.30/07.00 WIB)



Sayangnya Edelweis sedang tidak berbunga, tapi itu tidak mengurangi semangat gue dan yang lain untuk berfoto ria.
Alun-alun surken

Mba Nina di Surken
Surken We're Coming
Tahun 2012 lalu air sulit didapat karena kekeringan, alhamdulillah kali ini air mengalir cukup deras, sehingga kami tidak perlu mengantri untuk mengambilnya, kami bahkan bisa berwudhu tanpa khawatir akan kekurangan air, alhamdulillah kan?
Usai masak, makan, dan shalat, gue dan cewek - ceweknya gak mau berlama-lama tinggal diluar tenda, melainkan langsung pasang posisi tidur. Sejatinya tenda yang diperuntukkan untuk empat orang, malam ini dengan terpaksa diisi oleh enam orang, jadilah kami para wanita tidur bak ikan pindang yang dijejer. Bahagianya adalah gue terjepit diantara yang lain, kepala gak kepenyet aja sudah syukur alhamdulillah, pun kaki juga sudah gak jelas posisinya. Nasib serupa dialami mba wi, bedanya dia dipojok dan gue di tengah.
*Highfive dulu mba. Tosss!!!

Pukul tengah malam mba Anita yang notabene sudah mendapatkan tempat yang lebih nyaman dari gue malah blingsatan karena sesak napas katanya, dan dia lebih memilih untuk keluar tenda. Setelah memastikan dia aman di luar, mata yang udah sepet pun tidur kembali.
Breakfast (Mbe, Eni, Anita, Andi)

Pecicilan itu perlu




Berdo'a sesuai kepercayaan masing-masing

See You Surken


Well, sejujurnya gue gak terlalu excited seperti pertama kesini beberapa tahun yang lalu, sehingga waktu paginya bang bay bilang kita ke puncaknya agak siangan karena kita bakal pulang lewat jalur Cibodas, gue ok ok saja. Dalam keadaan normal mungkin gue bakal ngedumel berkepanjangan karena gak bisa menikmati sunrise/sunset, tapi gue tetep calm karena sudah pernah menikmatinya 2012 silam. Hehehe.

Menuju Puncak


Trek ke Puncak
Cuaca berkabut ketika kami berhasil menginjakkan kaki di puncak, sehingga puncak pangrango sama sekali tidak nampak. FYI kalau sedang beruntung, dari atas sini biasanya puncak pangrango dan bukit-bukit disekitarnya akan terlihat, menampilkan pemandangan yang sangat indah.


Mengulangi kenarsisan saat di Gunung Prau


Reunian di Puncak

Pukul 11.00 WIB kami memutuskan untuk turun via jalur Cibodas. Prediksi gue waktu itu, jam empat sore maksimal sudah sampai bawah. Tapi prediksi tinggallah prediksi, karena Allah telah menyiapkan rencana lain yang lebih indah untuk kami.
Perjalanan pulang
prepare turun
Jalur Cibodas
Awalnya jalanan sangat lancar, meskipun turunan, tapi tidak semuanya curam. Kami lebih memilih jalur yang relatif aman. 'Tanjakan setan' tidak kami lalui karena selain antrian panjang juga jalurnya terlalu curam untuk dilalui, jadi kami lebih memilih jalur alternatif.

"Bang, masih jauh?" Tanya gue ke bang hen waktu kita baru sampai di Pos Kandang Badak

"Yah, ini mah baru separuhnya bu kos."

"Hah?" Melongo. Sudah jam satu lewat dan baru separuhnya?!

Kita istirahat sebentar di pos Kandang Badak, mengambil air karena persediaan air sudah mulai habis. Bang Andi yang sudah kelaparan beberapa kali meminta waktu untuk membeli makan siang dulu, tapi entah siapa yang menyarankannya agar makan di pos berikutnya saja, sehingga bang andi pun nurut. Tapi emang dasar belum rejeki, karena ternyata pos kandang badak adalah pos terakhir yang ada pedagangnya. Di situ bang andi pasti merasa sangat sedih, begitu pula yang lain. Apalagi mengingat persediaan logistic kami yang sangat menipis. Setelah semua berkumpul dan beristirahat sejenak, kamipun melanjutkan perjalanan.

Setelah pos Kandang badak, ternyata ada bonus, jalanan yang datar, bahkan gue bisa berlari-lari kecil, sayangnya itu gak lama, karena berikutnya kami disambit, eh, disambut oleh turunan berbatu.

"Mbe, kalau gak kuat ngomong aja ya, jangan dipaksain." pesan gue ke nadmbe.

"oke sip."

Kami pun melanjutkan perjalanan. Mungkin mbe seharusnya menjadi tanggung jawab gue, karena dia ikut ke sini bareng gue. Tapi melihat sudah ada mba nina yang ngejagain, gue berfikir bahwa nanti bisa gantian buat jaga dia. Akhirnya gue berpisah lagi dengan mbe dan mba nina. Rombongan memang terbagi menjadi tiga; depan, tengah, belakang, jadi gue juga gak terlalu khawatir.

Air terjun kandang batu
Satu jam kemudian rombongan pertama (Gue, mb wi dan bang bay) sampai di Pos Kandang batu, Disusul Mba Eni, bang Andri. Sembari menunggu yang lain sampai, kami memutuskan untuk shalat. Alhamdulillah kami tidak kekurangan air untuk membersihkan diri karena air melimpah juga di sini. Sementara gue dan mba wi shalat, bang bay memasak air untuk membuat air hangat dan menyeduh pop mie yang hanya tersisa dua gelas.
 
Seperti biasa, setelah semua kumpul dan beristirahat kami melanjutkan perjalanan kembali. Semua sudah nampak kelelahan, dan perjalanan masih jauh, kami pun bergegas sebelum petang datang.

Jam empat lebih kami sampai di air terjun panas. Di sini lah tantangan dan kekoplakan berawal. Jalanan berbatu licin, di mana sebelah kanan adalah air terjun yang kadar kepanasan airnya tidak perlu diragukan lagi, sangat cukup untuk merebus telur, sementara sebelah kiri adalah jurang yang kalau jatuh, sangat diragukan tingkat keselamatannya. Pengaman untuk melalui jalur ini adalah tali jiwa yang jika kita berjalan dan tidak kuat-kuat memeganginya maka badan kita akan ikut terayun ke kanan dan ke kiri. Gue bahkan sempat terpeleset, alhamdulillah gue pegang kenceng itu tali. Tiada henti gue bersyukur pas berhasil melewati jalur maut itu.

"Loh, bang Ricky kemana?" Tiba-tiba kami tersadar bahwa bang Ricky yang tadi berbaris di paling belakang dalam rombongan kami belum sampai. Karena memang tadi antrian panjang di jalur maut, kami mencoba berfikir positif dan memutuskan untuk menunggu terlebih dahulu.

Lima menit, sepuluh menit, bang ricky belum nampak batang hidungnya. Sementara sedari tadi sudah banyak pendaki lain yang berhasil lewat. 

"Bang, samperin aja gimana?" usul gue

"Tungguin aja sampe dateng. Kali tadi ketemu temennya." Jawab bang bay

Setelah kira-kira lebih dari lima belas menit lebih bang ricky belum muncul juga, akhirnya gue dan mba wiyah ijin untuk mengecek keberadaannya dengan balik arah dan kembali melewati jalur setan yang sekarang antriannya sudah sangat padat. Beruntunglah kami melawan arus, jadi kami diijinkan untuk lewat oleh mereka yang hendak turun.

Setengah was-was gue dan mba wi ngeliatin wajah-wajah para pendaki yang tengah mengantri, tapi tak juga ada bang Ricky. Hati semakin deg-degan karena sudah di atas tapi bang ricky belum juga ketemu. Hingga setelah jembatan kecil, disebelah kanan jalan gue ngeliat seseorang yang rambutnya mirip bang ricky.

"Bang Ricky! bang ricky, woi, psst! pssst!" mba wi manggil-manggil. Ternyata bang Ricky ada di depan orang yang gue pikir adalah dia.

Antara lega dan kesel. Lega karena dia masih hidup dan baik-baik saja, gak kecemplung ke jurang atau kesiram air panas, juga kesel pas tahu bahwa dia meninggalkan rombongan hanya karena iming-iming sepiring mie instan yang ditawarkan temennya. Grrrrrr!!!!

"Tadi ngantri banget, jadi gue makan dulu, lagian bukannya jalan duluan aja." Kilahnya yang justru membuat gue dan mba wi melotot

"Ya lo kalau ngomong juga udah kita tinggal dari tadi kali bang. Makanya kalau mau misah ngomong-ngomong. Kita udah khawatir, eh lo malah enak-enakan makan!" gue dan mba wi gemes bukan main. Akhirnya bang ricky ikut turun bersama kami, setelah sedikit kita omeli dan dibully oleh teman-temannya tentunya.

"Tuh, sekarang jauh lebih ngantri dari tadi. Tadi mah masih bisa jalan bang." Gue nunjuk antrian yang bener-bener stuck. Dan tiba-tiba saja bang bay sudah ikutan nongol di antrian, nyusulin kita karena yang gak nyampe-nyampe katanya.


Ahhhhhh..... hari sudah semakin gelap, dan kaki mbe sudah mulai oleng sehingga harus sedikit dituntun. Menjelang maghrib belum ada tanda-tanda bahwa kami akan segera sampai, jadi gue lebih memilih diam dan menahan diri untuk bertanya; 'masih jauh bang?'. Berdasarkan pengalaman, semakin sering bertanya maka akan semakin lama sampainya.

Menuntun orang dengan kondisi badan sendiri sudah tidak layak dikatakan baik-baik saja, ditambah jalan turunan berbatu yang menjadi sangat menyakitkan untuk dilalui, membuat kami tertinggal jauh dari rombongan. Hanya ada gue, mba nina, mbe, bang hen, dan bang ricky. Berulang kali kami harus berhenti dan secara mendadak gue menjadi tukang urut. Kami jalan pelan, cukup jauh berhenti, ngurut kaki, jalan lagi berhenti, ngurut lagi, begitu terus sampai kami tiba di sebuah gazebo. #Mbe, lo harus bayar mahal atas jasa urut gue ini *smirk smile mode on

Perjalanan dilanjutkan. Awalnya kita kompak, jalan berduyun-duyun kayak orang mau imigrasi, tapi lama-ama ribet juga, ngalangin jalan orang yang mau lewat, apalagi kalau cara berjalan kami seperti lagunya kerispatih yang 'tertatih', jadi tim pun dipecah seperti tadi. Gue, mb nin, mbe, bang hen dan bang ricky kembali di belakang.

Sebenernya gue udah was-was waktu bang hen mulai minta counterpain buat ngurut kakinya. Ini pertanda buruk, karena seharusnya do'i baik-baik saja. Bukan apa-apa, tapi carrier dia gede bo', kalau dia teler duluan siapa yang mau bawain itu tas?. Hadeuuhhhh... padahal bang hen tadi sempet menawarkan diri untuk membantu bawa tas yang di gue.

Sudah jam sembilan lebih, dan perjalanan yang harus kami tempuh masih jauh. Alhamdulillah, meskipun sangat lama akhirnya kami tiba di Pos Panyangcangan atau persimpangan Cibeureum. Di sana rombongan kami yang lain sudah menunggu.

Pundak gue udah panas akibat terlalu lama ngegendong daypack 40 liter, asam lambung juga sudah mulai naik karena dari pagi cuma terisi sarapan dan beberapa teguk air. Yah, ceritanya gue lagi belajar itsar, mendahulukan orang lain yang lebih membutuhkan. Jadi gue sengaja gak makan dan hanya sedikit minum supaya bekal air yang tersisa cukup untuk orang lain yang beban hidupnya lebih berat dari gue.
*Tsaaahhh

Padahal pas sampai di Gazebo gue langsung nyamber coklat kacang batangan dan melahapnya sampai habis setelah yang lain gue kasih sepotong-sepotong. wkwkwk

Di pos ini semua sudah mulai terlihat kelelahan, ralat; sangat-sangat kelelahan. Meskipun persendian kaki gue gak sakit seperti pendakian ke Cikuray, tapi perjalanan panjang tanpa asupan makanan membuat gue kelelahan luar biasa, belum lagi persediaan air semakin menipis.

Cukup lama kami berhenti di pos panyangcangan. Gue berharap ada ranger datang yang nantinya bisa membawa mbe dengan tandu. Bilang gue primitif, tapi selama ini gue mencoba berprinsip, selagi bisa berjalan dengan kaki  gue sendiri, gue bakal tetep milih jalan meskipun pelan, dan sebisa mungkin menghindari kontak fisik dengan lawan jenis. Yah tapi gue sadar, gue gak bisa maksain kehendak gue ke si Mbe ini, jadi gue cuma bisa ngasih usulan, bahwa selagi kakinya masih kuat, lebih baik dipapah. Tapi kalau enggak, ya mau gak mau digendong.

Lagipula, gue juga mikirin yang lain, semua cowok sudah membawa carrier dan daypack masing-masing, mereka juga pasti lelah, jadi alangkah kasihannya kalau mereka harus menggendong si mbe. Dalam keadaan normal mungkin mereka akan dengan mudah ngegendong dia, tapi dengan fisik seperti ini, belum lagi jalanan berbatu yang licin, Gue gak yakin mereka mampu.

Setelah diskusi panjang apakah Mbe digendong atau dipapah selesai, barulah kami melanjutkan perjalanan. Mba Wi dan mba nina fix mapah mbe. Sementara gue dan bang andi positif membawa dua daypack; depan-belakang.

"Bu kos, sini tukeran aja daypacknya." Tawar bang andi
"Gak usah, gue kuat kok bang." gue mengibas-ngibaskan tangan di depannya dengan lemah.

Mati-matian gue menahan diri supaya gak mengeluh sakit, apalagi nangis, padahal pundak udah panas, pinggang pegel, kaki juga udah gak bisa diajak kompromi. Jalanan berbatu memang tidak nyaman untuk dilalui. Kami melewati sebuah jembatan panjang yang sepertinya terbuat dari cor-coran semen atau beton. Katanya tempat tersebut namanya telaga biru.

"Gak ada yang mau foto-foto nih?" celetuk bang bay, yang disambut dengan cengiran khas dan omelan pelan yang lain.

Kami kembali beristirahat karena mbe sudah mulai kepayahan berjalan. Bang andi menawarkan diri untuk menggendongnya. Saat kami sedang bersiap, barulah kami bertemu dengan tiga anggota Ranger yang hendak naik untuk memberikan pertolongan kepada pendaki yang sudah mengontaknya terlebih dahulu. Kami menjelaskan keadaan mbe kepada ranger tersebut, dan dengan HP mba eni, ranger tersebut menghubungi rekannya yang ada di pos.

"Ini teh udah di KM 15. Satu setengah kilo lagi sampe." Ucap salah seorang ranger.

Sembari menunggu bala bantuan datang, Mbe pun diwawancara dan direkam oleh ranger untuk dijadikan sebagai bukti. Belakangan kami tahu, bahwa mereka adalah organisasi di kampung, sementara yang seharusnya bertanggung jawab adalah ranger milik pemerintah yang sudah mendapatkan gaji. Tapi selama ini yang bergerak adalah ranger kampung ini.

"Nama saya ....., saya sakit dari ....., saya simaksi di kantor, tapi tidak ada ranger yang bertanggung jawab...."

Kami cekikikan karena hal itu, bang hen juga di foto sebagai penanggung jawab tim kami, karena dia dan bang bay yang mengurus simaksi.

"Misi bang... misi..." Pendaki lain yang tengah turun dengan gagahnya melewati kami, menyapa kami dengan sopan. Suara gemerincing kerincingan mereka menggema di tengah kesunyian.

"Heh!, masukin gantungannya, masukin!. Berisik aja!" Salah seorang ranger berteriak garang. Terlihat para pendaki yang tadi nampak gagah berani, sedikit syok dan menuruti perintah ranger.

"Bang hen..."
"Bang..."

Gue dan yang lain memberi kode ke bang hen yang sedang membawa tas bang bay yang ada gantungannya untuk menyembunyikannya. Bersyukur karena the ranger tidak sempat mendengar gemerincing kerincingan tas bang bay.
*Fiuuhhhh

Ketika tengah menunggu, ada satu rombongan yang menginformasikan bahwa rekannya juga sakit dan harus di tolong menggunakan tandu. Akhirnya mbe pun digendong oleh seorang ranger, sementara dua ranger yang lain melanjutkan perjalanan ke puncak.

Alhamdulillah, gue gak harus lagi membawa dua daypack depan-belakang, mba wi dan mba nina sudah bisa membawa tas mereka sendiri. Semua berjalan kilat, hingga akhirnya tinggal gue, bang hen, dan bang ryan. Bang hen yang tadi sudah oleh beberapa kali terpeleset dan sering berhenti. Rombongan yang lain sudah tidak nampak. Bang hen sudah gak kuat, dan bang ryan tidak bisa diharapkan karena dia juga membawa tas, dan kakinya sudah oleng dari atas.

Oya, dari 13 orang cuma bang andri yang sudah jalan terlebih dahulu. Jadi sudah dipastikan dia sudah sampai di pos bawah.

"Coba telpon bayu dong."

"Kenapa bang?"

"Buat bawain carrier gue, gue gak kuat nih."

Gue ngotak-atik hp yang qadarullah sinyalnya ada tapi gak mau buat nelpon.

"Gak bisa bang." Gue masih mencoba untuk menelepon, tapi hasilnya nihil.

"Lo tunggu di sini aja dah yak, jangan kemana-mana. Gue turun duluan buat manggil bang bay." Gue mencoba menawarkan diri, meskipun dalam hati ketar-ketir karena jalanan gelap gulita. Tapi cuma itu satu-satunya ide yang terlintas di kepala gue.

"Ngga dah, ayo bareng aja." jawab bang hen sambil bangkit.

Kami pun kembali berjalan pelan-pelan, sekitar pukul 23.30 atau 00.00 WIB kami akhirnya sampai di pos akhir. Yang gue lihat pertama kali adalah bang andri yang sedang nyengir di pinggir jalan, kemudian bang bay. Gue langsung ke posko di mana mbe, mba wi, dan mba nina berada. Mbe terlihat lebih segar karena kakinya sudah diurut. Gue pun ngantri untuk bersih-bersih dan ganti baju.

"Mba wi, aku shalatnya selonjoran aja ya, kakiku gak bisa ditekuk."

"Yah, jangan bu kos, kita pake kursi aja deh ya."

Kami berdua pun shalat menggunakan kursi. Ya Allah... udah kayak nini-nini gini dah. Padahal buat jalan jauh bisa dipaksain, eh giliran buat ibadah malah gak total. Bahkan bacaan Al-Qari'ah gue langsung nyambung ke surat Al-Bayyinah, dan mba wi bukannya ngebenerin imam abal-abalnya, tapi malah diem aja. *Pingin ngejitak mba wi saat itu juga.

Petugas sudah memperingatkan kami untuk pindah tempat karena pasien kesurupan akan segera tiba. Jadi kami sudah bergegas untuk pergi ke warung dan makan. Baru kami duduk di ruang tamu depan, pasien yang kesurupan itu tiba, matanya nyalang menatap ke arah kami.

"Jangan diliatin mba." sebelumnya mba wi sudah mengingatkan. Cuman yang namanya penasaran, malah gue liatin dia. Sejenak pandangan kita bertemu, hingga dia dibawa ke ruang tengah.

"Kesurupan di air terjun panas." Kata salah seorang rekannya menjelaskan kepada ranger yang bertugas.
"Ajak ngomong ya. Jangan sampai pikirannya kosong." Ucap si ranger.


Kami pun pergi ke warung. Sebelumnya gue meminta tolong supaya daypack gue dan mbe dibawain bang ryan ke warung.

"Eh, ada yang meninggal tahu." entah siapa yang mengatakannya.

"Oh ya? yang mana?" tanya gue penasaran

"Itu, yang kemarin kita ketemu di jalur putri dia pakai oksigen buatan." jawab bang andi

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un..." jawab kami serempak. Sejenak, kelebatan sosok yang kemarin terbaring lemah dengan wajah pucat dan mata melotot pun hadir dalam pikiran.

"Itu yang kesurupan juga temennya mba eni tahu." timpal gue
"oya?"
"Iya. Gue sempet ngeliat mba eni cipika-cipiki di puncak. Oya, btw kita masih dapet angkot gak nih buat balik?" Waktu sudah menunjukkan pukul 01.30 WIB

"Kita pulang besok aja. Nanti tidur di warung di bawah, tadi dikasih tahu sama kenalan." jawab bang bay

Sebenernya gue pingin balik pagi itu juga, tapi ngeliat temen-temen yang lain pada tepar, gue turunin ego gue dan mengikuti mau mereka. Mati gue, bos gue bakal nyap-nyap kalau tahu anak buahnya kagak masuk kerja karena naik gunung.

"Tapi besok berangkatnya pagi-pagi ya bang, gue gawe soalnya."

"Iya, mau sebelum apa abis subuh?" tanyanya lagi

"Ini aja udah jam segini, abis subuh aja, tapi jangan pada ngaret."

"Iye."

Gue pikir perjalanan ke bawah itu cuma sebentar, lah kagak tahunya... sampai di pasar cibodas masih harus jalan lagi untuk sampai ke homestay (Sebuah warung yang meyediakan tempat/aula untuk menginap). Sudah banyak pendaki lain yang juga sedang beristirahat di dalam. Kami langsung mencari tempat yang masih kosong, tanpa di komando pun semua bersiap tidur. sepanjang pagi itu, pikiran gue udah balik ke jakarta.

Selama ini gue memang gak pernah ijin bolos kerja hanya karena naik gunung, karena gue tahu, bos utama gue paling anti sama cewek yang naik gunung. Jadi selama ini gue selalu kerja meskipun baru sampai rumah jam tiga, jam empat. Bahkan senin ini pun gue harus langsung ke kantor dan bekerja seperti biasa. Gue sempet gondok karena teman-teman masih santai padahal sudah jam enam pagi.

"Gue kerja woi gue kerja!" rasanya pingin berteriak-teriak histeris, tapi yang ada adalah gue keluar dari homestay, menghirup udara pagi banyak-banyak dan menghembuskannya pelan. Perlahan kaki bergerak menuju setitik jingga di ufuk timur. Langit biru dengan riasan warna-warni awan karena pantulan cahaya mentari pagi pun sedikit mengurangi emosi.

sunrise


Sunrise justru gue dapatkan di sini. Ah... indahnya...

"Harus memahami orang lain." Gue mencoba tersenyum untuk menguatkan diri sendiri.

Mungkin, suatu saat (Na'udzubillahi min dzalik) gue akan berada di posisi mereka. Mba Eni pun ikut keluar dan jalan-jalan melihat sunrise.



http://c00022506.cdn1.cloudfiles.rackspacecloud.com/10_5.png







10:6 





"Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya orbit-orbit (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak (benar). Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa."(QS. Yunus: 5-6)

Ya Allah, semoga kami senantiasa dapat mentadabburi alam yang telah Engkau ciptakan, untuk kemudian mengambil hikmah atas segala yang telah KAU beri kepada kami. Menjadikan kebesaran yang KAU tunjukkan sebagai sarana kami dalam mengenal-MU, mencintai-MU tanpa tapi.

http://c00022506.cdn1.cloudfiles.rackspacecloud.com/23_80.png

"Dan Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan Dialah yang (mengatur) pertukaran malam dan siang. Maka apakah kamu tidak memahaminya?" (QS.Al-Mu'minun:80)

Betapa kematian itu dekat, maka matikanlah kami dalam keadaan khusnul khotimah ya Rabbi, bukan su'ul khotimah. Bukan dalam keadaan di mana kami melalaikan kewajiban kami.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar