Minggu, 10 Januari 2016

Ketika Sahabat Tak Berkabar

"Jadi dia belum juga menghubungimu?" tanyanya berapi-api.

"Belum."

"Sama sekali?"

"Iya."

"WA, BBM, SMS, Line, dll?"

"Yuhu..."

"Dia kelewatan!, ini hari spesial dan dia anggap seolah nggak ada apa-apa."

"Dia mungkin sedang sibuk, dan tolong ralat, bahwa tidak ada hari spesial."

"Apapun yang kamu mau. Tapi ini sudah seminggu lebih, dan dia nggak menghubungi kita."

"Nomornya emang nggak aktif sejak beberapa hari yang lalu. Mungkin dia emang lagi sibuk, kamu yang sabar ya."

"Nggak bisa!. Sebelum pekan depan kita harus ketemu. Harusnya juga minggu-minggu ini dia udah pulang dari sana, kemudian kita ketemu sebentar, sebelum akhirnya gue cabut ama suami. Dia nggak boleh lupain rencana kita."

"Kita emang bebas berencana, tapi Tuhan maha berkehendak."

"Sejak kapan sih kamu jadi sok bijak?"

"Entahlah. Mungkin sejak aku dapat merasakan lelahnya sebuah penantian. #eaaak."

"Pret banget sih. Kalau pun dia pada akhirnya nggak ngasih kabar, kita berdua harus tetap ketemu."

"Siapa tahu dia mau ngasih kejutan untuk kita. Seperti tiba-tiba datang di saat-saat terakhir kepergianmu mungkin?. Kemudian aku dan dia (kami) melambaikan tangan kami ke udara, melepaskan kepergianmu, memandang pesawatmu hingga tak nampak lagi."

"Drama banget sih. Tiga tahun nggak ketemu, kamu tambah error kayaknya."

"Hahah. Apalagi kalau tiap hari ketemu kalian berdua. Pasti level errornya udah kelas akut."

"Enak aja!. Eh, jadi Yogya tanggal berapa?. Sekitar tanggal 20-an Ogy pernah bilang kalau Bunda ada acara juga di sana. Siapa tahu kalian bisa ketemu. Sekalian tanyakan ke mana anaknya itu?"

"Nah, kenapa kamu nggak telpon Bunda aja say?."

"Nomornya ilang, kan hp ku baru diinstal ulang."

"Yah, emang belum rejeki kita. Semoga dia udah ada kabar sebelum kamu berangkat. Bunda nginep di hotel apa, kamu tahu nggak?."

"Aamiiin. Nggak tahu, tapi katanya di sekitar stasiun Yogyakarta. Bunda di sana sampai tanggal 25-an."

"Aku di pusat kota cuma sehari. Semoga bisa ketemu. Kangen Bunda euy... Pertama dan terakhir ketemu ya di acara wisuda kalian."

"Aku juga terakhir ketemu pas lagi liburan, trus mampir ke rumah Ogy."

"Sayangnya harga tiket pesawat domestik selalu lebih mahal ketimbang tiket ke mancanegara. Aku kan belum ada dana buat silaturahim ke sana. Sementara jalur darat, menghabiskan waktu berhari-hari."

"Iya sih. Ah... kangen... nggak sabar ketemu kamu. Btw, kamu udah tambah gede kan sekarang?."

"Sial!. Aku emang selalu ngangenin Dee, jadi nggak kaget kalau kamu kangen sama aku. Dan ya...  alhamdulillah aku tambah imut."

"Hahah. Kepedean kamu itu yang semakin meningkat kayaknya ya."

"Wkwkwk. Miss you too damn much kok."

"Nah kan ngaku. Say, sebenernya perasaanku nggak enak beberapa hari ini. Mau curhat ke suami entar dia cemburu, dikira aku ada rasa sama Ogy, kan berabe. Aku juga sempet mimpi jelek soal dia. Menurut kamu gimana?."

"Hahah. Perasaan kamu aja kali Dee. Lagian mimpi kan bunga tidur. Dia udah dewasa, jago beladiri, dan di sana dia itu liburan, bukan jadi relawan di perbatasan negara-negara rawan konflik."

"Iya juga sih. Dia pasti baik-baik aja kan?"

"In Shaa Allah pasti baik."

"Udah dulu ya say. Misuaku baru pulang, mau nyambit, #ehh, nyambut dia dulu. Bye bye, Assalamu'alaikum. Mmmuaccch"

"Wooo dasar!. Bye... Wa'alaikumussalam."

Telepon ditutup. Aku memegang dadaku dan merasakan nyeri di sana. Sebenarnya perasaanku juga tak enak. Berbagai macam bayangan kemungkinan kejadian buruk berkelabat, silih berganti. Namun ku tepis semuanya.

'Dia akan selalu baik-baik saja di sana. Ada bunda, juga Opa bersamanya.' lagi, dan lagi ku coba meyankinkan diri.

Meskipun keyakinan itu semakin meluruh ketika nomor internasional itu tak dapat juga dihubungi. Besok tepat satu pekan sudah, dia tak berkabar. Padahal biasanya grup WA penuh dengan notifikasi darinya. Berisi foto-foto liburannya selama di Jepang.

Dan tak berkabar adalah diluar kebiasaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar